PIDATO KEBUDAYAAN

zwawi-imron.jpg

MENGEMBANGKAN BUDAYA SANTUN

D. Zawawi Imron

Paling tak enak, konon, makhluk Tuhan yang disebut manusia. Pasalnya, kalau makan harus cari yang halal, kalau mau berpasangan harus nikah, dalam hidup keseharian pun harus memakai pakaian. Perhatikan kambing, kerbau, ular, kecoak dan binatang lainnya, tidak memakai pakaian tidak apa-apa.Pendapat seperti itu tentunya boleh-boleh saja, kita tidak boleh marah, karena marah tidak bisa menyelesaikan masalah.

Pendapat yang demikian itu, mungkin karena ia merasa hidup ini terlalu banyak rambu-rambu moral. Sehingga orang tidak bebas seenaknya seperti binatang. Kemudian ia merasa iri terhadap binatang yang bisa bebas berbuat apa saja. Harimau menerkam kancil tidak ada hukum yang akan mempermasalahkannya, kijang memacari adik kandungnya sendiri tetap sempurna sebagai kijang. Ayam suka bertarung dengan saudaranya sendiri, tidak akan pernah ada yang memecatnya berhenti menjadi ayam. Sebab memang begitulah sempurnanya peri kebinatangan.Sedangkan kalau menjadi manusia, dari kecil sudah harus sekolah, harus pintar, harus jujur, harus sopan, harus mandi, harus pakai sabun, harus bikin rumah, harus bikin kapal penyeberangan, harus bikin pabrik, harus demokratis, harus cantik, harus ganteng, harus santun dan puluhan ribu harus yang lain. Kayaknya hidup ini hanya untuk melakukan harus dan harus saja.

Padahal harus yang positif itu tak lebih dari tuntutan kepentingan manusia itu sendiri, agar hidup lebih nyaman dari pada bergaya semau gue yang tanpa keharusan untuk bertanggung jawab terhadap kemanusiaan. Harus itu mungkin semacam “perjanjian” manusia dengan kemanusiaannya sendiri agar manusia itu mampu menemukan bahagia yang sejati. Yaitu hidup sebagaimana layaknya manusia, tidak pinjam gaya yang telah umum dipakai oleh moyet dan gorila.Jadi, dengan menghindari diri dari berlagak dengan gaya binatang, sebenarnya seorang manusia hanya menjalankan kodratnya sebagai manusia. Apa sulitnya seorang manusia menjalankan kodratnya sebagai lazimnya manusia?Menjawab pertanyaan itu mungkin mudah, tapi mungkin pula susah. Kata-kata bisa saja meluncur memberi jawaban yang sementara bisa dianggap benar, tapi apa manfaatnya sebuah jawaban dengan kata-kata, kalau perbuatan saya masih juga berbeda dengan yang saya ucapkan. Itu bisa terjadi karena “lidah memang tidak bertulang.”Berbicara kefasihan, meskipun kefasihan konkret dalam bentuk perbuatan yang jelas memuliakan manusia, dalam bidang kebudayaan kita tidak bisa meremehkan kefasihan estetik. Yaitu kefasihan dalam bahasa keindahan yang menunjukkan kemuliaan hati manusia, yaitu seni.Kefasihan itu dimiliki oleh para seniman, yang berangkat dari hatinya yang indah. Kefasihan estetik adalah hasil dari proses kreatif para seniman untuk mengekpresikan dirinya (dalam hal ini pengalaman hidup lahir batin) dalam karya-karya yang sesuai dengan bakat-bakat pribadinya.

Proses olah pikir dan olah rasa seniman dalam membawa suara kehidupan, pada satu sisi adalah penghormatan dan rasa syukur sang seniman atas anugrah yang berupa bakat dan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya. Pada awal olah seni (proses kreatif) disadari atau tidak ada langkah yang ditempuh untuk menempuh jalan syukur. Syukur itu bentuk terima kasih yang dimaknai memanfaatkan rahmat Tuhan yang berada dalam diri. Tidak menghargainya, akan mengurangi nilai kreatif dan sekaligus menolak untuk kreatif, dan itu sama dengan menolak memihak kehidupan.Karena itu mengembangkan diri secara kreatif, bagi pribadi masing-masing seniman merupakan tanggung jawab kekhalifaan sebagai makhluk mulia yang jauh lebih mulia dari makhluk Tuhan yang lain. Berbicara tentang pribadi, kreatifitas itu sendiri menuntut seseorang untuk menemukan (yang sesungguhnya mencari dengan kesungguhan) ekspresi yang merupakan representasi dari dirinya sebagai pribadi yang hadir ke dunia. Perjuangan kreatif memberi makna bagi hidup seperti ini penuh dengan aneka tantangan yang kesakitan.

Domisili, sarana, rujukan, kawan dan lawan dialog kadang bisa menjadi hambatan, tapi tidak mustahil juga bisa mendorong lajunya kreatifitas. Semua itu akan menjadi romantika, bahwa sukses itu pada umumnya adalah milik orang yang sungguh-sungguh dan tabah untuk naik dari satu jenjang ke jenjang berikutnya sekaligus memberi harkat kepada umur dan kehadirannya. Ketika karya seni itu berhadapan dengan masyarakat, sebuah karya kadang disalahfahami sehingga berhadapan dengan pelarangan, pencekalan, dan bahkan pemasungan. Sebuah hasil kreatif yang dipersembahkan kepada masyarakat dan kemanusiaan ternyata harus dikuburkan. Namun, karya seni sebagai suara kebenaran estetik dan sebagai suara kemanusiaan sebagian sulit untuk dikubur. Karya sastra yang dilarang justru lebih banyak dibaca orang dengan digandakan memakai fotokopi. Sebuah karya sastra yang dilarang semakin menarik dan menggoda untuk dibaca. Berbeda dengan lukisan dan patung kalau dibakar dan dihancurkan bisa tamat riwayatnya. Sang seniman tentu merasakan kepedihan. Tapi ada pula yang arif bisa menikamati kekecewaan, karena sebagai manusia kreatif ia tidak mau memberhalakan kesedihan.

Dari sini kekecewaan dan kepedihan bisa menjadi landasan kreatif untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik. Kebebasan dan pemberian ruang yang luas kepada karya-karya kreatif adalah penghargaan kepada kemanusiaan. Dalam iklim berkeseniman yang sehat, biarlah sang seniman itu sendiri melakukan pencekalan bagi dirinya, karena ia sendiri yang tahu untuk berbuat dan tidak berbuat. Kearifan kemanusiaan serta kedekatan kalbu seorang seniman dengan Tuhan yang berupa kecerdasan spiritual, akan melahirkan karya-karya yang bukan hanya menyenangkan tetapi mencerdaskan dan mencerahkan.

Meskipun seniman itu manusia kreatif, tidak berarti di luar kesenimanan tidak ada kemuliaan dan keindahan. Para penemu di bidang pendidikan, kedokteran, teknologi, dan lain-lain, termasuk Pak Mudjair yang menemukan ikan laut yang bisa diternakkan di darat, adalah kreator-kreator yang pantas dihormati. Semua sektor dan semua profesi tentu mulia, asalkan bermanfaat bagi kemanusiaan. Penghargaan kepada profesi lain seperti itu menunjukkan sikap dewasa, bahwa sang seniman dapat membebaskan dirinya dari godaan arogansi.Dari sini diperlukan kerendahatian para seniman, bahwa kesenimanan itu adalah salah satu sektor dari pengabdian kepada kemanusiaan. Kerendahhatian seperti ini akan menghapus kesalahfahaman antara seniman dengan masyarakat dan antara seniman yang satu dengan seniman yang lainnya. Ketika nurani dikembangkan dalam keindahan rasa kemanusiaan, musuh seorang terasa banyak, dan teman seribu terasa sangat sedikit.Kemanusiaan akan terasa indah bila dalam merumuskannya tidak selalu dengan kata-kata. Perbuatan-perbuatan santun yang membuat diri dan orang lain merasa enak dan nyaman meskipun itu dilakukan seorang bisu, akan menjadi bahasa kemanusiaan yang penuh kefasihan. Tindakan yang nyata dan bermakna bisa lebih fasih dari sejuta untaian kata.Maka, tidak heran kalau pada zaman dahulu kala, dikisahkan ada filsuf yang pergi mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain, dari satu lembah ke lembah yang lain, dari satu kota ke kota yang lain, dengan obor di tangan baik siang maupun malam. Setelah ada seseorang bertanya, apa yang ia cari, ia lalu menjawab: “Saya sedang mencari manusia.”Orang yang bertanya jadi tertunduk. Ia mulai introspeksi, pantaskah dirinya mengaku manusia?

Berdasarkan perilakunya sehari-hari, orang itu merasa malu mengaku, bahwa dirinya manusia. Itu pada zaman dahulu kala. Pada zaman modern ini, setiap manusia perlu bertanya kepada dirinya sendiri, manusiakah diriku ini?Kita sekarang mencoba bertemu sekelompok besar manusia yang disebut rakyat. Mereka kebanyakan hidup di pedesaan, dengan pikiran dan cara hidup yang sederhana. Tidak mustahil kalau mereka banyak yang miskin. Merekalah yang kalau ada peringatan hari kemerdekaan, ada panitia yang menanamkan pohon pinang yang dianggap layak jadi tontonan.Pohon pinang yang dilincinkan seperti betis Ken Dedes serta diberi pelumas itu di puncaknya digantung dua buah kopiah, dua buah sarung, empat kerudung wanita, dan entah berapa lembar kaos oblong serta kaos singlet. Siapa pun boleh memanjat pohon itu, tapi yang paling banyak adalah orang miskin yang ingin mendapatkan benda-benda yang disukainya. Karena sangat licinnya, baru setengah meter naik sudah meluncur ke tanah lagi. Para penonton lalu bersorak kegirangan. Untuk sampai ke puncak pohon pinang itu dibutuhkan perjuangan berjam-jam, lalu kemudian orang-orang miskin itu meraih salah satu barang yang diidamkannya.Begitulah kebiasaan di beberapa tempat di negeri kita selama berpuluh tahun yang entah kapan dimulainya. Tapi itulah kira-kira gambaran kesulitan orang miskin dalam meraih rejeki dan kesejahteraan yang dikemas menjadi tontonan gratis. Nonton betapa sulitnya jadi rakyat miskin.Berpikir dengan disiplin ilmu model apa saja, kemiskinan itu memang tidak merdu didengar, apalagi dialami sendiri. Artinya, orang yang sekadar melihat orang miskin tidak akan sama pengalaman pahitnya dengan si miskin itu sendiri. Meskipun kadangkala, seorang yang tidak miskin menyaksikan orang miskin kalbunya tergetar oleh rasa terenyuh atau haru. Susah yang dirasakan orang miskin bisa berlipat ganda, bayangkan kalau anak-anak dan istrinya sehari makan dan sehari tidak, sementara orang menagih utang bergantian. Merekalah yang perutnya sakit seperti penuh dengan pecahan gelas-gelas kaca. Usaha mendapatkan penghasilan sudah diupayakan ke sana ke mari, tapi terganjal oleh sistem dan struktur sosial yang kuat.Maka, betapa pentingnya kita mencerahkan kalbu agar punya simpati dan empati terhadap kemiskinan.

Penghayatan jiwa kemanusiaan yang dalam, dilukiskan Sutardji Calzoum Bachri, yang tertusuk padamu berdarah padaku. Penghayatan kemanusiaan bahwa derita seorang anak manusia hakikatnya adalah kesakitan seluruh umat.Apresiasi terhadap kemiskinan itu, setiap saat bentuknya bisa berbeda. Perangkat-perangkat afeksi, seperti kalbu dan syaraf-syaraf perasaan tentu harus dipasang baik-baik sehingga terasa bahwa dalam bagian yang hakiki dari ruh ada kelenjar yang jatuh. Yaitu kelenjar kemanusiaan atau kelenjar persaudaraan, bahwa antara diri dengan orang lain baik yang miskin maupun yang kaya ada benang persaudaraan yang menghubungkan keduanya. Itulah jiwa-jiwa yang terpadu dalam kemanusiaan yang dicerahkan dengan percikan sinar Ilahi.

Pendekatan jiwa kepada kaum miskin itu perlu kelanjutan pendalaman spiritualitas agar apa yang kita miliki menjadi siap untuk selalu membuat orang miskin dan orang lain tersenyum, karena di dalam diri telah kental spirit seperti yang dilukiskan ucapan penyair Al-Ma’ary: “Janganlah hujan membasahi ladangku kalau tidak menyiram seluruh bumi.” Manusia yang sehat rohaninya akan berupaya menjadi agen perpanjangan dari kasih sayang Tuhan.Dalam memandang kemanusiaan itu ada ucapan Sayidina Ali bin Abi Thalib yang pantas untuk direnungkan, “Tidak lapar orang miskin kecuali karena rakusnya orang kaya.” Menurut pemahaman ini, sebenarnya rezeki dari Tuhan untuk manusia telah cukup. Tapi kenapa ada orang miskin? Ialah karena ada orang-orang yang mengambil lebih banyak sampai banyak orang lain tidak mendapat bagian rejeki; atau karena tidak ada keadilan di bidang sosial dan ekonomi. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Untuk itu perbaikan nasib rakyat miskin atau menghormati rakyat miskin harus menjadi agenda utama pemerintah dan harus mendapat dukungan yang tulus dari orang-orang yang hidupnya lebih beruntung.

Dukungan tersebut tidak hanya dukungan moral, tetapi berupa berupa tindakan-tindakan konkret yang benar-benar membuat orang miskin bisa menolong dirinya sendiri. Tindakan menyantuni orang miskin itu pasti selaras dengan substansi kepahlawanan.Feodalisme yang membagi manusia menjadi “orang besar” dan “orang kecil” (wong cilik) jelas bertentangan dengan persamaan hak dan melanggar kesantunan; kebiasaan terlambat hadir kalau ada pertemuan dan undangan, serta berlonggar-longgar dalam menghargai waktu, jelas tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dan asas disiplin; kebiasaan makan-makan di tengah keluarga miskin ketika hari duka ditinggal mati salah seorang anggota keluarganya akan semakin menyengsarakan orang miskin; kado dan upeti yang dipersembahkan kepada atasan bisa melestarikan budaya sogok, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menyegarkan tradisi santun itu adalah bagian dari perjuangan kebudayaan.Kearifan kata-kata juga bisa berupa dongeng atau cerita rakyat lainnya. Dongeng — kegiatan sastra bertutur yang hidup di tengah-tengah masyarakat agraris — sinkron sekali dengan alam pedesaan dengan angin yang mendesir. Di malam hari, tikar digelar di halaman rumah bersamaan dengan munculnya bulan purnama. Kemudian nenek atau kakek mendongeng yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta. Pada saat itu terjadilah proses rekatan kekerabatan yang sublim yang bisa semakin menghaluskan perasaan dan rasa kasih sayang. Selain itu, dongeng sangat membantu rasa sayang kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan bila dongengnya berupa fabel yang mengisahkan kehidupan binatang.Rasa kemanusiaan saya jadi sedih oleh dongeng “Si Kancil” binatang yang dianggap tokoh cendekia padahal ia penipu yang tidak berjiwa. Banyak orang bersimpati pada kecerdikan Kancil, tapi empati saya justru kepada binatang yang ditipu Kancil. Ternyata kecerdikan Kancil bisa digunakan untuk mencelakakan sesama binatang. Anehnya, tipu daya seperti itu sesekali dilakukan juga oleh cendekiawan manusia. Kenyataan telah bicara, beberapa cendekiawan kita ada yang telah mengkhianati hati nuraninya sendiri dengan berbuat merugikan negara dan rakyat.Dalam wacana budaya, kalau kita kreatif memahami tradisi, kearifan itu dapat mengingatkan kita pada kehidupan masa kini kita. Dalam sebuah Lontara (kitab sastra Bugis-Makassar) terdapat dialog antara penguasa dengan rakyat sebagai berikut:Karaeng Bajo: “Engkau telah angkat kami sebagai rajamu. Kami bersabda dan engkau tunduk-patuh. Kami adalah angin dan engkau adalah kayu.”Paccalaya dan Kasuwiyang Salapanga menjawab: “Engkau adalah angin dan kami adalah daun kayu. Akan tetapi, hanya daun kayu yang telah menguning sajalah yang engkau turunkan. Engkau tidak akan mengambil ayam dari kandang kami. Jika engkau menginginkan barang kepunyaan kami, engkau membelinya dengan harga yang patut dibeli.”Perhatikan kalimat, “hanya daun kayu yang menguning sajalah yang engkau turunkan,” menunjukkan betapa manusia dituntut santun walaupun terhadap tumbuh-tumbuhan. Sejalan dengan itu, agama juga mengingatkan bahwa salah satu tugas manusia di dunia adalah menjadi khalifah yang merawat bumi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang berbunyi: “… Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu sebagai pemakmurnya,…” (Q.S. Hud, 11 : 61).Secara teologis, memakmurkan bumi bukan sekedar mencari makan. Hakikinya, tindakan itu adalah sebagai bentuk persahabatan antara manusia dengan alam. Bahkan dalam budaya Minangkabau, alam bukan hanya sahabat, tapi “alam terkembang jadi guru.”Kemakmuran akan melahirkan konsekuensi logis berupa terpenuhinya kebutuhan pokok hidup manusia.

Upaya memakmurkan bumi atau tanah air yang didasari dengan kesadaran terdalam akan menjadi proses pendekatan antara manusia dengan Tuhannya. Soal teknologi pacul dan bajak diganti dengan traktor di era teknologi ini menunjukkan adanya hasil dialog yang menunjang kemajuan dan kebudayaan yang kreatif sebagai jawaban atas tantangan zaman yang semakin modern. Dengan demikian, teknologi bisa menjadi sarana untuk bersyukur dan bersujud kepada Tuhan.Dialog berkesinambungan itu tentunya melibatkan berbagai sektor atau bahkan semua sektor. Tidak kurang pentingnya adalah sektor pendidikan yang jelas arahnya. Karena itu, dibutuhkan daya kreatif dengan membuka wacana-wacana baru yang berorientasi ke masa depan. Orientasi ke masa lalu tanpa melihat ke depan bisa membuat anak-anak kita tampil kadaluarsa sebagai aktor yang terlambat hadir dan tidak visioner.Di sinilah diperlukan pendidikan untuk membawa anak cucu kita kepada pemberdayaan dan keberdayaan baru. Adanya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 terbukti telah membawa bangsa kita kepada wawasan baru dan modern. Berdirinya Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pengelolaan serta penyelenggaraan negara kita selanjutnya tidak lain adalah berkat adanya pendidikan modern itu.Sekarang tidak ada desa yang tidak punya sekolah. Bahkan untuk satu desa sudah ada lebih lima sekolah dasar atau yang setingkat. Lembaga pendidikan SMP, SMA, sekarang sudah bisa ditemukan hampir di semua ibukota kecamatan.Namun model pendidikan kita agaknya masih juga kelanjutan dari sisa-sisa pendidikan kolonial yang telah direvisi di sana-sini. Anak didik di pedesaan diajar seperti anak Jakarta. Jarang ada keterampilan yang diajarkan sesuai dengan alam desa dan alam pesisir. Anak-anak petani tidak ditanami penghayatan mendalam terhadap aroma lumpur sawah dan tanah tegalan, serta anak-anak nelayan tidak diajar terampil menebar jala dan mengembangkan layar. Akibatnya, sesudah tamat SMA sebagian mereka menjadi anak yang gagap untuk bekerja di desanya sendiri. Yang anak petani enggan memegang cangkul dan membajak, serta anak nelayan tidak ada gairah terjun ke laut untuk menerjang ombak dan menentang angin. Sebagian dari mereka merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, atau jadi TKI ke luar negeri yang siap dianiaya atau dihina oleh majikan. Dalam kurikulum memang ada muatan lokal, tetapi sampai sekarang pengajar yang kompeten di bidang itu sulit ditemukan.

Aneh yang lain ialah kenyataan hasil dari pendidikan kita. Pada sekitar zaman kemerdekaan, menurut catatan Eka Budianta, jumlah sarjana masih sangat sedikit, sekitar 45 orang. Tapi kita mampu menegakkan kedaulatan, mengusir penjajah, mampu memenangkan diplomasi sehinggga menjadi bangsa yang terhormat. Zaman itu memang tidak mulus, di sana-sini ada pertentangan sesama kita, antara lain seperti “Peristiwa Madiun,” munculnya DI-TII dan lain-lain. Tetapi relatif bisa diatasi.Sekarang kita sudah punya jutaan orang sarjana, yang sebenarnya harus bisa mengatasi semua krisis yang melanda negara dan bangsa kita akhir-akhir ini, baik dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan lain-lain. Tetapi pada kenyataannya, di antara kita hanya pandai bertengkar dan saling-cakar sesama kita sendiri, kerusuhan terjadi di mana-mana. Di samping itu, pembakaran hutan, korupsi, penggundulan bukit yang menimbulkan banjir, semua itu dilakukan oleh orang-orang yang terdidik.

Kenapa ada orang terdidik ternyata hanya pandai mendatangkan malapetaka? Lalu apa guna sekolah-sekolah dan perguruan tinggi itu didirikan kalau kita hanya pandai merusak, bertengkar, menghujat, mencacimaki pemimpin, dan berbuat kekerasan? Padahal kalau hanya untuk saling-cakar dan bermusuhan saya kira orang tidak perlu sekolah. Kenapa pada era banyak sarjana keberutalan dan kekerasan makin marak?Hal itu menjadi pertanda, bahwa pendidikan untuk membentuk manusia-manusia yang santun itu sangat penting. Kesantunan dan budi pekerti itulah yang akan membuat atmosfer kehidupan terasa tenteram dan segar dengan manusia-manusia yang adil dan beradab. Semua tindakan manusia itu berasal dari kalbu. Kalau kalbunya keras, hati nuraninya dangkal dan rasa kasih sayang kepada sesama sudah tidak ada, maka kekerasan tidak akan bisa dikendalikan.Ingat pembunuhan wartawan Udin, wafatnya Munir, tawuran antar-pelajar dan kekerasan massal lainnya yang sering diberitakan di koran dan televisi, semuanya itu membuktikan nyata bahwa kekerasan itu ada, dan manusia yang haus darah saudaranya sendiri juga benar-benar ada. Itulah “disharmoni sosial” akibat adanya benturan kepentingan yang melonjak menjadi konflik.

Ketegangan psikilogis yang menyebabkan disorientasi mental dan hilangnya rasa santun.Akhir-akhir ini telah terjadi proses pendangkalan spiritual dan moral. Kehidupan beragama, misalnya, memang tampak semarak dan berkibar. Sekarang ada baju “takwa.” Bahkan, naik haji sudah diminati banyak birokrat dan artis. Di kantor-kantor dan sekolah-sekolah ada mushalla. Dari sudut esktrinsik formal, yang demikian itu sangat positif. Hanya saja, kalau hal ini tidak diimbangi dengan penghayatan intrinsik yang ditandai dengan tunjamnya sujud jiwa kepada Sang Pencipta, serta upaya membersihkan hati, semaraknya kegiatan agama itu belum menyentuh esensi agama. Yang justru terjadi adalah pendangkalan ruhani. Dalam kondisi seperti itu, agama dan Tuhan terkadang hanya dijadikan sebagai bendera kebanggaan. Cara beragama yang cenderung ekstrinsik ini akan gagal mendapatkan makna hidup yang hakiki. Karena itu semaraknya kehidupan beragama harus disertai dengan penghayatan spiritual yang mendalam dan kedekatan kalbu dengan Allah.Informasi yang menyerbu lewat aneka media — termasuk sebagian tayangan televisi yang tidak bermutu — kepada manusia-manusia yang jiwanya tidak tegar dan tidak punya daya tangkal, bisa membuat orang mengabaikan hati nuraninya sendiri (Alexis Carrel). Tidak mustahil bahwa hal itu akan sangat mendongkrak proses pendangkalan ruhani yang pada puncaknya menyebabkan manusia kehilangan substansi kemanusiaannya. Materialisme, hedonisme, dan sadisme akan sangat subur dalam masyarakat yang ruhaninya kering kerontang. Menyadari pendangkalan itu sebagai “bahaya” barangkali sudah saatnya. Secara idealistik, kita punya nilai-nilai luhur, akan tetapi, sebagian orang menguasainya hanya sebatas omongan dan belum bergairah dalam melaksanakannya. Akhirnya, kemanusiaan menjadi indah dalam ucapan, lukisan, dan nyanyian, dan jarang ada dalam kenyataan.Menyadari bahaya dan ketimpangan hidup seperti itu kita perlu kembali merawat hati nurani dan akal budi untuk menata masa depan yang lebih indah. Dengan akal budi itu kita memuliakan manusia dan kemanusiaan.

Manusia yang punya nurani dan akal sehat perlu mencermati terhadap siapa-siapa yang memenuhi kebutuhan dirinya. Ketika kita makan nasi, pikiran jernih akan menelusuri secara seksama, nasi itu berasal dari beras, dan beras itu ada karena ada petani yang menanam padi. Ketika kita makan lauk ikan tongkol, kita akan dituntun oleh akal sehat untuk berterimakasih kepada para nelayan yang bertarung di atas perahunya melawan ganasnya gelombang di tengah laut. Ketika kita memakai baju, pikiran jernih akan menggiringnya untuk mengakui jasa para petani kapas dan tukang tenun atau orang yang bekerja di pabrik tekstil.Jika pikiran jernih yang kita kembangkan di dalam otak dan kalbu, pastilah akan tumbuh pengakuan dan penghargaan terhadap andil-andil orang-orang yang berjasa terhadap diri kita. Nanti akan berkembang apresiasi yang menjurus kepada ketajaman dan pendalaman spiritual, bahwa sebenarnya petani yang padinya jadi nasi yang kita makan, nelayan yang ikan hasil tangkapannya jadi lauk-pauk di atas hidangan kita, serta petani kapas, tukang tenun, dan buruh pabrik tekstil yang karyanya menjadi pakaian yang melindungi tubuh kita, nurani kita pasti akan mengakui bahwa mereka punya andil terhadap kesejahteraan hidup dan kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang yang berjasa. Atau katakanlah pahlawan dalam narasi kecil. Tetapi kalau setiap hari kita mendapatkan jasa dari petani, nelayan, tukang tenun, dan lain-lain, pada hakikatnya mereka adalah pahlawan dalam narasi besar juga, yang jasanya tidak kalah dengan mereka yang jasadnya dikubur di taman pahlawan. Bayangkan, kalau para petani mogok tidak bercocok tanam, semua orang akan lapar, kalau nelayan tidak melaut, hidangan kita akan hambar. Kemudian para pahlawan yang lain silakan terus pikirkan dan cari sendiri.Dari penghayatan rohani yang menumbuhkan penghargaan dan penghormatan kepada orang-orang yang berjasa kepada kita itu, menjadi semakin jelas, betapa tidak berdayanya diri manusia ini tanpa bantuan manusia-manusia lain.

Maka sangat sehat kalau ada pendapat bahwa setiap manusia beriman itu bersaudara. Bahkan Nabi Muhammad bersabda: “Tidak beriman seorang kamu sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri”Dari sinilah persaudaraan kemanusiaan perlu semakin dikembangkan, karena sesama manusia bukan hanya berasal dari satu Bapak satu Ibu (Nabi Adam dan Ibu Hawa) tetapi satu sama lain memang saling membutuhkan sehingga perlu saling menghargai serta saling menyantuni.Akhlak saling mengerti yang bisa dilanjutkan menjadi saling-menghargai dan saling-menghormati terutama dalam pergumulan politik menjadi kunci ketentraman dan keamanan negara kita ini. Berbuat sesuatu yang menyenangkan orang lain adalah tindakan santun yang essensinya adalah kepahlawanan. Tidak mungkin membangun kehidupan yang tenteram dengan saling-mencurigai, saling-fitnah serta kebuasan seperti yang terdapat pada kehidupan binatang.Yang bernama manusia adalah makhluk yang punya keterbatasan dan kelemahan. Kita harus mampu membaca dan mengerti kelemahan orang lain. Tidak kalah pentingnya ialah mengerti kelemahan kita sendiri. Siapa tahu yang mencekal dan memasung kita bukan orang lain, tapi keterbatasan dan kemalasan yang tidak terasa telah lama berurat dan berakar dalam diri kita.Dalam pemahaman kemanusiaan, seorang yang berjiwa jernih tidak akan menyakiti orang lain. Jiwa yang jernih dan akal yang sehat tidak akan memberi ruang bagi benih dan virus-virus kejahatan untuk berkembang biak. Tugas kita sehari-hari ialah melawan angan-angan dan keinginan untuk merugikan dan menyakiti orang lain. Ketika kerusakan sedang merebak, tidak ikut latah berbuat onar sudah termasuk manusia yang baik. Kita nyalakan obor nurani, kita cari manusia dalam diri kita, sehingga tidak punya waktu untuk membenci sesama dan berbuat kezaliman. Sudah saatnya kita kembali menjadi bangsa yang santun.

Kita lahir di Indonesia, minum air Indonesia
menjadi darah kita
Kita makan beras, sagu, dan buah-buahan Indonesia
menjadi daging kita
Kita mereguk udara Indonesia
menjadi nafas kita
Kita bersujud di atas bumi Indonesia
Bumi Indonesia adalah sajadah kita
Nanti bila tiba saatnya mati, kita akan dikubur
dalam pelukan bumi Indonesia
Daging kita yang meleleh
akan bersatu dengan bumi Indonesia
Tak ada alasan untuk tidak mencintai tanah air
Tak ada alasan untuk tidak menyantuni bangsa

Batang-batang, Madura, 23 Nopember 2007

Menimba Ilham Viatlitas dari Nilai Pesantren

D. Zawawi Imron

AKHIR-AKHIR  INI, sulitnya sebagian masyarakat mencari makan, persaingan hidup yang tidak sehat, dan lapangan kerja yang sempit serta masa depan yang tidak jelas. Kondisi tersebut bisa membentuk atmosfer kehidupan yang tidak memberi kesempatan kepada sebagian masyarakat untuk berpikir lapang dan jernih. Timbullah gejala manusia yang kehilangan jati diri.

Pertanyaannya, bersalahkah orang-orang ini bila jiwa mereka menjadi oleng dan kemudian bertingkah yang bukan-bukan? Jawabnya: tetap bersalah.

Namun, kalau kita berpikir lebih bijak dan adil, sistem yang menciptakan atmosfer serba sulit itu jelas tidak bisa cuci tangan. Hal ini diungkit bukan sekadar untuk memperbanyak jumlah tergugat, meskipun tidak untuk diadili, melainkan untuk mengejar sampai sejauh mana akar permasalahan krisis bisa dibaca dan dicarikan solusi.

Toh, dongeng lama kakek moyang juga mengajarkan hal itu. Ketika seekor anak garangan –sebangsa musang– mati diinjak kijang, laba-laba yang sedang merajut jala pun juga dipersalahkan. Pasalnya, kijang itu lari kencang sampai menginjak anak garangan gara-gara takut terjerat jaring laba-laba.

Dongeng memang bukan sebuah petunjuk yang harus dilaksanakan seperti undang-undang. Dongeng hanyalah sejenis refleksi kultural dalam bentuk sastra tutur. Akan tetapi, bagi orang yang berpikir dengan kaca mata budaya, dari cerita itu bisa ditemukan sejenis “arah” yang memang tidak teramat jelas. Orang yang berpikir jernih akan mengembangkan ketidakjelasan itu untuk mengenal dan menelusuri hakikat kehidupan dan berupaya untuk mengejar makna-makna baru, serta mengembangkannya untuk menemukan arah hidup yang lebih indah.

Dengan demikian, dongeng menyuruh orang menjadi “nyalang” melihat dengan pikiran yang visioner sembari bertanya ihwal mengapa orang berbuat sesuatu, dan bertanya, ada apa di balik sesuatu? Mengapa orang merusak dan berbuat jahat, dan siapa yang menyebabkan ia merusak? Hukum tentu tetap harus berlaku dan bicara dengan suatu keadilan. Selain itu, mesti diingat bahwa hukuman tidak menjamin orang menjadi jera untuk mengulang kejahatan lagi. Mengapa? Mungkin karena penyebab atau “biang” dari tindak kejahatan tidak ikut diberantas.

Hamba hukum dan seluruh anggota masyarakat dalam era modern diminta kejeliannya untuk mengawasi dan menemukan “biang” itu. Biang di sini tidak selalu provokator, siapa tahu masih ada biang lain yang tidak kalah lihai ketimbang setan, yakni the invisible hands. Awas dan waspada tentu tidak sama dengan berburuk-sangka (su’uzh-zhann). Di samping itu, perlu juga diwaspadai biang-biang lain berupa realitas kegetiran dan atmosfer sumpek yang membuat orang megap-megap untuk bernafas dan membuat nestapa kemanusiaan menjadi komunal yang lalu tak terbendung. Bagaimana disharmoni sosial tak akan meluas bila selama sekian puluh tahun timpang, di samping religiositas (rasa takwa) yang makin dangkal (ekstrinsik). Kesenian hanyalah hiburan yang tak punya muatan substansi kemanusiaan. Simpati dan empati pada sesama manusia menjadi kering kerontang. Itulah hidup nafsi-nafsi, yang menjadi salah satu sumber krisis.

Kebingungan akan menemukan peluang dalam bentuk yang mengerikan. Demonstrasi di kota-kota berlangsung hampir tiap hari. Korupsi menjadi berita koran meskipun koruptornya tidak dihukum, karena konon tidak cukup bukti. Orang miskin masih banyak jumlahnya. Betulkah ini adalah korban dari  modernisasi yang tidak selalu steril dari virus-virus? Entahlah! Tetapi, ada ucapan menarik dari Peter L. Berger, sosiolog humanis murid Max Weber, yang berpendapat bahwa, modernisasi bekerja seperti palu raksasa yang menggusur lembaga-lembaga, struktur, dan nilai-nilai tradisional. Bila memang demikian,  modernisasi yang tidak mempertimbangkan kelayakan, bahkan dipaksakan, bisa saja dituduh sebagai biang. Reformasi pun, saya kira, tidak banyak berbeda dari  modernisasi bila sudah tidak menghormati kemanusiaan dan kebersamaan dan bisa saja kebablasan ibarat mobil yang ngeslong karena remnya blong.

Barangkali, kini sudah saatnya kita untuk mengembangkan kasih sayang kepada seluruh umat. Rasa kemanusiaan perlu minum penghayatan yang mendalam pada penderitaan manusia.

Cinta kemanusiaan itu telah dicanangkan oleh Rasulullah, “Tidak beriman seorang kamu sehingga mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri.” Inilah nilai-nilai, yang memandu persaudaraan, cinta, kebersamaan, tolong-menolong, kedamaian, persamaan dan nilai-nilai.

Krisis multidimensi tidak bisa diselesaikan sendiri. Kita harus bahu-membahu dengan persaudaraan yang intens. Ilmu apa saja, tanpa mewujudkan kebersamaan dan persaudaraan, sulit untuk menyelesaikan krisis. Dalam hal ini, puisi, karya sastra serta karya seni lainnya bisa membantu untuk memberikan kesadaran untuk mengupayakan kehidupan yang layak dengan jiwa yang jernih dan akal sehat.

Suara sastra memang bukan suara umum dan resmi. Sastra adalah suara particular. Namun karena itu, daya kreatif pengarang dipertaruhkan untuk menyajikan suara dan nilai baru. Karena particula-nya itu ia memberi kesegaran-kesegaran baru dan memberi inspirasi bagi seseorang atau beberapa kelompok manusia yang jiwanya memang dahaga terhadap minuman sastra. Dengan demikian, sang seniman tidak menyuguhkan barang yang laris di pasaran yang mengarang karya karena latah, tapi benar-benar menyuguhkan sesuatu yang lain dari yang lain, baru dan otentik. Cuma diharapkan mampu menjadi sejenis sepercik embun yang menyegarkan tanaman.

Dengan demikian, puisi yang baik akan punya peran untuk memandu ke arah pendalaman hati nurani, ketajaman sensibilitas kemanusiaan, yang otomatis akan menolak jiwa kasar serta pendangkalan rohani. Karena itu, kegiatan apresiasi puisi selain menjadi bagian dan gairah kebudayaan, sekaligus bisa bersinergi dengan agama dalam membentuk sikap yang santun dalam segala hal, dan budi perkerti mulia tanpa kebencian. Budi perkerti mulia itulah yang membedakan antara manusia dengan binatang.

Kehadiran agama Islam dan Nabi Muhammad sebagai “rahmat” bagi dunia dan kemanusiaan, meminta dukungan umat Islam sebagai “pengamal” atau “pelaku” karena agama Islam itu adalah agama amal. Orang akan dinilai saleh karena perbuatan baiknya. Hidup tanpa amal dan perbuatan  yang baik adalah sia-sia. Minus. Nonsens. Tidak bernilai. Hidup yang tidak bermanfaat seperti itu, dalam budaya apa pun memang tak punya nilai.

Maka bahasa agama yang konkret adalah bahasa tindak-tanduk dan perbuatan. Kasih sayang Allah yang selalu kita kumandangkan melalui lidah, kita lanjutkan dengan terjemahannya dalam bahasa yang nyata, yaitu bahasa perbuatan. Inilah kunci pendidikan pesantren, berupa bahasa nyata “akhlaqul karimah,” yang dimulai oleh para pengasuh dengan “uswatun hasanah”. Pendidikan budi pekerti tanpa keteladanan melahirkan pertanyaan, “Bagaimana tongkat yang bengkok bisa menimbulkan bayangan yang lurus?”

Itulah yang dilakukan oleh para wali dalam membentuk karakter santri yang berbudi dan berbudaya. Kemudian diteruskan oleh para ulama yang meniru metode Rasulullah SAW tidak menyuruh orang lain berbuat baik sebelum beliau melaksanakan terlebih dahulu.

Budayawan sekelas WS Rendra, menggambarkan bahwa para ulama pesantren disebut “Empu yang bermukim di atas angin”, yaitu yang mengutamakan budaya akal sehat, dan sanggup memberi inspirasi bagi rakyat jelata untuk tahu akan hak-haknya dan selalu siap membela kebenaran secara kesatria. Tradisi dan nilai-nilai pesantren yang masih relevan dengan zaman harus tetap dirawat dan dilaksanakan, sedangkan yang tidak sesuai dengan dinamika kehidupan sekarang perlu ditinggalkan. Di samping itu perlu dengan selektif menerima dan mengadopsi niali-nilai baru yang bisa memperkuat dan memperkaya cakrawala kehidupan pesantren masa kini.

Bahasa nyata atau bahasa perbuatan itu sebagai tanda bukti kelahiran dan kehadiran yang tidak sia-sia. Norma-norma atau nilai-nilai itu tidak akan ada maknanya jika tidak dilaksanakan dalam perbuatan nyata. Jadi, manusia hadir ke dunia dengan akal sehatnya, punya tugas untuk mewujudkan nilai-nilai mulia itu bukan sekadar nilai abstrak yang nyaris tidak ada maknanya. Nilai-nilai itu akan menyatu dengan makna menjadi kemuliaan yang nyata, yaitu konkretnya nilai-nilai yang diangkat dan diwujudkan menjadi kenyataan, bukan sekadar sebagai pengetahuan, ilmu dan wacana. Kata yang bernilai baik, yang cuma diucapkan, diwacanakan, dan diajarkan, tapi tidak dilaksanakan oleh yang mengucapkannya, di dalam Islam dianggap sebagai penyelewengan besar. Kata Allah, “Dosa besar kepada Allah, kamu yang hanya mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Firman di atas sangatlah benar, buat apa bicara kalau antara yang diucapkan dengan perbuatannya tidak sesuai. Lain di mulut lain pula pada tindakan nyata.

Ada ungkapan dari tanah Bugis yang berbunyi, “Daemi natotau mulaita gauk ruapitta janci,” yang menurut terjemahan Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid berbunyi, “hanya kata-kata yang menjadikan kita manusia, yaitu sesuainya kata dengan perbuatan dan menepati janji.”

Ketika seseorang tidak lagi sesuai apa yang dikatakannya dengan apa yang ia perbuat, serta berjanji tetapi tidak ditepati, secara hakikat habislah nilai orang itu sebagai manusia. Orang seperti itu baik jiwa maupun tubuhnya sudah tidak punya “nilai” yang agung dan mulia. Kita perhatikan firman Allah yang artinya :

Mereka punya hati tapi tidak berpikir
Mereka punya mata tapi tidak melihat
Mereka punya telinga tapi tidak mendengar
Mereka seperti binatang 
Bahkan lebih sesat lagi 

Dengan demikian, hati yang tidak berpikir jernih, mata yang tidak nyalang melihat alam dan tanda-tanda zaman, dan telinga yang tidak mau mendengar suara kebenaran, menurut Allah setingkat dengan hewan atau binatang. Orang-orang yang seperti itulah yang hidupnya tidak punya kepentingan untuk meraih nilai, serta tidak akan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang menguntungkan masyarakat atau umat, karena kata-katanya tak lebih dari kepalsuan semata-mata.

Kalimat-kalimat yang diucapkannya tak lebih dari kilah atau kelit yang tidak mengandung makna yang substansial. Sikap hidup yang seperti itu, dalam budaya apa pun tidak akan punya nilai.

Maka kini ketemulah kita dengan karya-karya sastra yang dulu hidup di tengah-tengah alam pesantren. Bagaimana semangat menghargai hidup itu menjadi penting agar umur tidak sia-sia. Semangat untuk belajar sebagai tanda penghormatan terhadap hidup bisa kita temukan dalam puisi di bawah ini:

Orang yang bodoh telah mati sebelum dikuburkan
Tapi orang yang berilmu meskipun mati, sebenarnya tetap hidup

Kesungguhan dalam menghadapi berbagai hal bisa dikembangkan dengan puisi Imam Syafi’i di bawah ini:

Bersungguh-sungguh akan membuat perkara yang jauh jadi dekat
Bersungguh-sungguh akan membuat pintu tertutup jadi terbuka

Dalam puisi di atas, jelas tersurat dan tersirat pentingnya “vitalitas” sebagai penghargaan terhadap hidup. Dan betapa rendahnya martabat orang-orang yang malas belajar, bisa direnung dalam puisi di bawah ini:

Bagi siapa yang melewatkan waktunya lalai belajar
Angkatlah takbir empat kali sebagai salat (jenazah) untuk kematiannya 

Bagi para santri tidaklah asing spirit yang terdapat kalimat dibawah ini:

Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kau akan hidup selamanya
Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kau akan mati besok pagi

Dari beberapa tukilan di atas, betapa dahsyat bahan renungan dari puisi-puisi yang dulunya sangat populer di pesantren, bahkan menjadi nyanyian jiwa, yang apabila diinterpretasi sampai ke lubuk jiwa, akan menjadi spirit untuk mengoptimalkan energi kehidupan untuk memacu vitalitas.

Dengan percikan-percikan ilham yang menyala seperti itu semangat untuk hidup bermakna menjadi sangat penting. Yaitu menjadi manusia khalifah yang pantas menjadi penjaga dan perawat peradaban di dunia ini. Antara lain mewujudkan cita-cita mulia, dan kata-kata mutiara yang menjadi nilai dan karakter manusia yang membedakan dirinya dengan binatang, karena ilmu dan cita mulia yang tidak menjadi tindakan nyata sama dengan pohon yang tidak berbuah.

Agama yang diterjemahkan penganutnya dengan bahasa perbuatan, akan membuat agama itu menjadi agama yang realistis dan membumi. Masyarakat akan banyak merasakan turunnya “rahmat” lewat penganut agama itu. Amal dan perbuatan adalah bahasa yang paling fasih. Nabi Muhammad bersabda, “Bahasa nyata dengan perbuatan itu lebih fasih dari bahasa yang diucapkan lidah.” Jika ada di antara kita menyeleweng dari nilai-nilai tersebut, berarti, ada pengkhianat di antara kita.

Indahnya perbuatan daripada sekadar wacana perlu dibangun sebagai visi ke depan untuk membangun zaman baru, dan paradigma baru.
Keindahan bisa tampil ketika seorang hamba Allah menghampar sajadah, lalu bersujud  di tengah malam sunyi. 
Keindahan bisa tampak ketika seorang anak muda mencium tangan ayah-bundanya saat hendak berangkat merantau ke negeri orang. 
Keindahan bisa tampak ketika seorang perawat menyeka nanah pada luka seorang pasien. 
Keindahan menjadi nyata saat nelayan pulang dari laut membawa sekeranjang ikan.
Keindahan mekar di dada seorang mahasiswa teknik yang merancang mesin pesawat supersonik yang hendak dipersembahkan kepada bangsanya.
Keindahan hadir ketika seorang ilmuwan sedang bereksprimen menjilang beberapa jenis padi, agar menemukan padi formula baru untuk kemakmuran tanah airnya. 

Untuk itu, puisi-puisi yang baik, yang memberi spirit untuk hidup mulia harus tetap dibaca dan diapresiasi.

Selain itu, puisi-puisi yang memihak kehidupan dan kebenaran harus tetap ditulis, sebagai upaya untuk menghormati kemanusiaan dan kehidupan. Menjelang abad ke-21 ada hal baru di beberapa pesantren di Indonesia, yaitu maraknya para santri menulis puisi. Jika nilai-nilai pesantren yang kental menyuarakan suara debur jantung keindonesiaan yang santun, tentu akan menjadi angin segar bagi perkembangan sastra dan budi luhur di Indonesia. Pesantren masa depan tentunya memerlukan ketajaman visi di dalam memandu dan memacu perubahan ke arah kehidupan yang lebih maju serta mulia. Sastra adalah salah satu jembatan untuk memandang ke depan. Imajinasi yang mekar berkembang akan mendobrak kebekuan berpikir.

Dari sini, hidup yang indah bisa dibayangkan untuk dibantu dengan keringat kerja nyata.

D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, ujung timur pulau Madura, mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982. Sejak tamat Sekolah Rakyat (SR, setara dengan sekolah dasar) dilanjutkan belajar di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep.Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Lalang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilallang. Kumpulan sajaknya Nenekmoyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985. Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenekmoyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi Anteve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995.Buku puisinya yang lain adalah Berlayar di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Madura, Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria. Saat ini menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta) 

…………………………………………………………………………………………………………………. 

PIDATO KEBUDAYAAN

TRADISI DALAM KEBUDAYAAN

WS. Rendra

ws-rendra.jpg

Tradisi adalah unsur kebudayaan yang sangat penting, yang saya maksud dengan tradisi adalah kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu. Adapun sumber kebiasaan bersama itu adalah tata nilai dan cita rasa yang hidup di dalam masyarakat itu. Tata nilai adalah pengertian baik buruk, benar-salah, pantas-tak pantas, adil-tak adil, dan halal tak halal, yang semuanya bersumber pada agama, kepercayaan, mitologi, dan ideologi yang hidup di dalam masayarakat itu.

Sedangkan, yang saya maksud dengan cita-rasa adalah pilihan-pilihan naluriah di dalam hal kepuasaan panca indera dan kepuasaan perasaan, yang terbentuk oleh ingatan akan pengalaman-pengalaman yang berabad-abad dalam bergaul dengan alam lingkungan dan dari tempat tinggal mereka. Apa bila tata nilai dan cita rasa adalah isi dalaman (jeroan) yang membentuk tradisi, maka peneterapannya berwujud etika, tata cara, sopan santun, basa basi, ekpresi seni, bentuk upacara-upacara di dalam kehidupan, cara berpakaian, cara menghias diri dan cara memasak makanan.

Adapun bentuk pelembagaan tradisi yang paling matang adalah hukum adat. Pelanggaran terhadap tata cara, sopan santun dan etika bisa menimbulkan reaksi tidak suka, cemooh, amarah, kebencian dan kutukan dari masyarakat. Tetapi kalau si pelanggar itu orang kuat, orang kuasa atau orang kaya raya, ia bisa lolos dari semua sangsi dari masyarakat. Sebagai contoh misalnya, seorang yang berkuasa melanggar etika tepo seliro “ya selamat”, tapi kalau orang biasa menginjak kaki orang lain, maka akan dikatakan

“Aduh Bung, masak kenapa kaki saya diinjak kan sakit, nanti kalau kaki anda diinjak bagaimana ?,”

“Oh ya,,,ya maaf, saya tidak sengaja,”

Tetapi kalau orang yang berkuasa, atau orang kaya, atau orang kuat, menginjak kaki orang lain, kemudian ia ditegur,

“Aduh kaki saja terinjak, nanti kalau kaki Anda diinjak bagaimana,”

“Oh,… boleh kalau berani, silahkan menginjak kaki saya,”

“Oh Maaf, bukan begitu maksud saya,” yang diinjak malah mohon maaf.

Jadi etika dan segala sesuatu merupakan sesuatu ikatan yang constrength tetapi tidak begitu kuat. Tetapi pelanggaran terhadap hukum adat menimbulkan sanksi yang lebih berat lewat denda, pengucilan, pembuangan atau bahkan hukuman mati. Hukum adat adalah hasil dari tradisi budaya yang sangat matang dan kuat. Ia memberikan kepastian tertib hidup bersama yang kokoh kepada setiap orang dalam masyarakat. Dan ini adalah jaminan bagi adanya kedaulatan manusia. Karena kedaulatan manusia dilindungi oleh kedaulatan hukum adat yang kedudukannya lebih tinggi dari kedudukan pemimpin masyarakat atau raja.

Di dalam masyarakat suku bangsa yang hukum adatnya lebih tinggi kedudukannya dari penguasa, rakyatnya lebih punya kepastian hidup karena dijamin oleh kepastian hukum. Kohesi masyarakatnya lebih kokoh karena bersifat “dengan sendirinya” dan “suka rela”. Oleh karena itu, masyarakat seperti itu lebih sukar ditundukkan oleh penjajahan bangsa asing. Sebaliknya suku-suku bangsa yang tradisinya tidak matang, hukum adatnya lemah atau bahkan punah, yang ada cuma penguasa yang mutlak kekuasannya, maka rakyatnya lemah, kurang dinamika, tanpa keadilan sosial ekonomi dan kohesi dalam masyarakat artificial dan mekanis. Jadinya mereka sangat lemah, dan akhirnya gampang dijajah bangsa asing.  

Kerajaan Mataram Senopati yang punya raja-raja yang sangar tapi rakyatnya tidak punya perlindungan hukum adat yang kuat, sejak Amangkurat II sudah terjajah oleh VOC secara sosial-politik dan ekonomi. Dan pada abad ke -18, di jaman Pakubuwono II menjadi Raja Mataram, ia menyerahkan kerajaan Mataram kepada apa yang disebut sebagai “Eyang Kanjeng Gubernur Jenderal”, ialah Gubernur jenderal V.O.C- yang nota bene V.O.C itu cuma sebuah perusahaan dagang. Kemudian muncullah Hamengku Buwono I yang memang jaya di medan laga terhadap VOC, tetapi sayang kalah diplomasi di pertemuan perdamaian Giyanti, sehingga beliau tidak mendapatkan kemenangan yang mutlak. Padahal seharusnya bisa. Selanjutnya sebagai penguasa beliau tetap memakai memakai gelar Senopati Ingalogo Kalifatulah Sayidin Panotogomo. Ialah penguasa mutlak yang kedudukannya lebih tinggi dari hukum. Meskipun sampai wafat beliau tetap dicintai rakyat karena sifatnya yang adil dan integritas moralnya yang tinggi, tetapi ketatanegaraannya, kerajaan yang beliau wariskan tidak banyak berbeda dengan ketatanegaraan raja-raja Mataram Senopati sebelumnya, yakni kekuasaan raja yang tidak terbatas.

Dengan ketatanegaraan dan tata hukum semacam itu, maka penggantinya adalah Sultan Hamengkubuwono II, dengan gampang ditaklukkan oleh Raffles dalam tempo 3 hari saja. Sejak saat itu kedudukan penguasa-penguasa pibumi di Jawa, dari Anyer sampai Panarukan, tak ubahnya seperti mandor penjajahan bangsa asing belaka. Adapun kerajaan di Deli, Indragiri, Palembang dan kerajaan-kerajaan Kalimantan yang para penguasanya berkedudukan lebih tinggi dari hukum, sudah lama pula ditundukkan oleh penjajah bangsa asing yakni sejak pertengahan abad 17. Di daerah-daerah yang kuat hukum adatnya, seperti Aceh, Batak, Bangka dan Minangkabau misalnya baru bisa ditundukkan oleh penjajah asing pada abad 19. Setelah ada pemerintahan “Nederland Indie” yang lebih modern budaya politiknya karena sudah dilengkapi dengan pengetahuan humaniora, kerjasama moneter yang lebih baik dengan Bank di Inggris, dan persenjataan yang lebih baik di darat dan di laut. Di laut dioperasikan kapal-kapal Schooner, dan canon-canon yang lebih modern, dan juga senapan-senapan yang bisa disokong. Toh Bali, Sulawesi Selatan, Toraja, Ternate dan Tidore masih terus bisa melawan dan bertahan sampa abad ke-20.

Berkat kekuasaan lembaga adat mereka, yang menyebabkab sumber daya manusianya dinamis dan kuat. Ketika seorang Bugis Wajo ditanyai oleh orang, kenapa banyak orang bugis sukses dan mendapat posisi penting di tanah rantauan orang Bugis akan menjawab, “Merdeka orang Wajo, hanya hukum yang aku pertuan” Ketika akhirnya mereka bisa ditaklukan oleh penjajah; Tanah Bugis tahun 1905, tanah Toraja tahun 1910, dan Bali pada tahun 1910. Sempurnalah penjajahan bangsa asing di tanah air kita. Apa lagi setelah pada tahun 1938 Sultan Ternate dan Tidore menandatangani Korte Verklaring dan lange Verklaring yang berarti kekalahan mutlak terhadap pihak penjajah asing. Jadi sebetulnya mitos yang disebarkan oleh para elit politik zaman tahun 1928 dan 1945 bahwa kita dijajah Belanda 3,5 abad, itu tidak berdasarkan kenyataan yang historis. Sebab kerajaan Belanda usianya kalah tua dengan kerajaan Jogja. Sampai sekarang usia kerajaan Belanda belum sampai 3,5 abad. Ya itulah nasib bangsa yang bicara presentence saja, mereka tidak begitu ingat tentang masa lalu, dan kurang paham memprediksi masa depan. Sehingga dengan demikian ada kesalahan pengertian sejarah, apalagi pihak Belanda waktu itu secara sadar meniadakan sekolah sejarah, sekolah pertanian, sekolah politik, sosiologi dan antropologi. Jadi “amnesia sejarah” memang bisa saja terjadi. Sebab ternyata Sulawesi Selatan dan Bali hanya dijajah 35 tahun saja. Namun harus dicatat disini bahwa semua kemenangan Nederland Indie di Abad ke-20 itu adalah akibat dari kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Terusan Suez.

Adanya kapal-kapal uap yang mereka miliki sehingga angkatan laut mereka tanpa tertandingi di Asia Tenggara, dan persenjataan mereka yang jauh melebihi kekuatan persenjataan para pejuang pribumi, karena mereka memiliki metraliur, dynamit dan canon-canon modern yang lebih portable. Lebih jauh lagi, adalah kenyataan blokade angkatan laut Belanda terhadap daerah-daerah yang belum menyerah memang terasa berat dan melelahkan bagi daya tahan orang-orang pribumi. Malahan ada lagi faktor lain ialah kemantapan pemerintahan Hindia Belanda di dalam menjalankan operasi-operasi penjajahan yang terencana itu, mereka berani menghadapi inflasi dan defisit di budget mereka. Sebagai lumrahnya Negara yang membangun dan berjuang, Belanda pun tidak ragu-ragu menghadapi defisit, tidak buru-buru mengejar balance budget, karena defisit ini pada akhirnya nanti merangsang daya beli dan daya produksi, dan toh akhirnya bisa kembali balance, dengan kekuatan ekonomi yang riil dan nyata. Tapi pemerintah kita sekarang takut pada defisit, menjalankan balance budget, karena control dari IMF dan World Bank. Tetapi toh harus diakui bahwa daulat hukum adat ternyata sangat ampuh sebagai sumber daya tahan dan daya hidup suatu bangsa. Inilah contoh kegunaan positif dari tradisi. Setelah kemenangan terhadap daerah-daerah adat itu, pemerintah Nederland Indie yang sangat ahli dan paham dalam ilmu-ilmu humaniora, memanfaatkan ilmu itu untuk rencana-rencana penjajahan mereka.

Mereka tidak serta merta menghapus hukum adat itu, tetapi dengan terencana, tahap demi tahap, mengerosikan hukum adat tersebut. Adapun caranya dengan memberikan gaji yang tinggi kepada para sesepuh penjaga adat, memanjakan keperluan-keperluan duniawi mereka, tetapi mereka harus bertangggung jawab langsung kepada Gubernur jenderal dan tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Kewenangan para penjaga hukum adat itu justru malah diperbesar sehingga menimbulkan rasa cemburu pada golongan aristokrat yang tadinya menjadi pelaksana pemerintahan. Sekarang mereka merasa terlalu diawasi oleh lembaga adat. Dan untuk meredakan rasa cemburu kepada para pemimpin adat, mereka diberi subsidi yang sangat besar, sehingga mereka bersaing dalam soal kemakmuran dengan para pemimpin adat. Daulat rakyat tidak lagi mendapat perlindungan. Mereka yang seharusnya memimpin masyarakat kini saling berebut pegaruh dan kuasa antar mereka, hukum adat kian lama kian lemah, sehingga akhirnya lenyap dari ingatan kolektif rakyat.

Secara ironis, setelah merdeka dari penjajah. Pemerintah RI tidak segera merehabilitasi hukum adat dan lembaga hukum adat. Soekarno dan Soeharto yang sangat berminat kepada pemerintahan yang memusat itu justru malah melanjutkan aksi penjajah Belanda terhadap hukum adat. Lembaga adat di Sulawesi selatan yang dulu bertanggung jawab kepada rakyat. Oleh Belanda di rubah menjadi adat Self bestuur yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal, kemudian oleh Soekarno adat self bestuur itu dilebur dimasukkan menjadi anggota DPRD yang tentu saja menjadi kaki tangan pemerintah Pusat. Sedangkan kekuatan adat di daerah lain menjadi lemah karena para pemimpin adat mereka melemah ditindih oleh kekuasaan para Bupati dan komandan-komandan militer di setiap wilayah distrik militer. Namun begitu kekuatan lembaga adat di Bali dan Minangkabau sukar dipudarkan fungsinya oleh penjajah Belanda maupun oleh rezim Soekarno, karena di Bali lembaga adat dan hukum adat berkaitan erat dengan kedaulatan agama dan kedaulatan “pura”. Sedangkan yang di Minangkabau berkaitan erat dengan kitab Allah dan Syariah. Baru setelah Orde baru, berkat kekuatan politik Golkar, Amir Mahmud dan Azwar Anaz, pertahanan lembaga adat dan hukum adat di Minangkabau jebol. Sebelas Nagari dijadikan 2300 desa. Maka hanya di Bali, hukum adat itu bisa bertahan sampai saat ini. Dewasa ini dari lunturnya kekuatan hukum adat dan lembaga adat, adalah mencairnya kohesi bangsa di daerah-daerah.

Kerusuhan antar golongan agama di Ambon, Maluku, dan Poso lepas dari kendali hukun adat yang dulu di jaman tradisional bisa mengatur kehidupan harmonis antara rakyat yang berbeda-beda agama. Kini, karena sejak rezim Soekarno dan Soeharto para pemuka adat sudah pudar di bawah kekuasaan para Bupati dan para Komando distrik Militer, maka sekian puluh tahun pergantian generasi demi generasi, amnesia terhadap tatanan adat yang mengatur harmonisasi kehidupan antar umat yang berbeda agama di dalam masyarakat pun terjadilah. Hal itu berbeda dengan apa yang terjadi di Bali. Keutuhan hukum adat masih bisa melindungi keutuhan kohesi masyarakat mereka. Meskipun mereka sudah banyak diserbu oleh para pendatang dari luar, dan meskipun mereka sudah menderita dengan parah sebagai akibat bom teroris sebanyak dua kali, namun mereka tidak kehilangan tradisi, sikap, jiwa dan aksi reaksi mereka bila menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan. Mereka masih bisa berbekal upacara-upacara agama dan praktek dari nilai etika mereka. Mereka bisa berdamai dengan malapetaka yang menimpa mereka dengan terhormat dan beradab. Maka seandainya pun secara ajaib, ada konsensus politik untuk menghidupkan kembali hukum-hukum adat di daerah-daerah, maka hal itu sulit untuk dilaksanakan.

Sebab sejarah tidak pernah bisa berulang dan waktu selalu berjalan maju. Menurut Sultan Mudaffar dari Ternate, apabila kita ingin menghidupkan lagi berbagai sisa-sisa yang baik dari tradisi masa lalu, apa yang bisa dilakukan bukanlah pengulangan tetapi “re-inventing” atau dengan kata lain menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengalaman-pengalaman dari tradisi yang lalu yang baik dan berguna. Pada hakekatnya itulah penyegaran budaya yang kreatif. Rupa-rupanya ini pula yang dilakukan Airlangga diawal abad ke-11 di masa lalu. Waktu itu beliau berumur 17 tahun. Beliau mewarisi masalah-masalah sosial politik dari pemerintahan kakeknya, Raja Dharmawangsa yang baru lengser. Kohesi masyarakat kacau balau, ketatanegaraan amburadul. Apa yang pertama beliau lakukan? adalah memerintahkan semua desa adat yang berbagai ragam adat istiadatnya satu sama lain yang tentu saja berbeda, karena desa nelayan tak mungkin sama adatnya dengan desa pertanian, dan tidak sama pula dengan desa undagari atau kemasan, begitu seterusnya, semua desa adat itu diminta untuk meninjau dan menyusun kembali hukum adat mereka, agar lebih adil dan lebih mampu membuka diri dalam pergaulan yang lebih luas. Sesudah itu beliau perintahkan agar hukum adat itu punya pengawal yang dinamakan Dewan penjaga adat yang berjumlah 40 orang untuk setiap desa adat. Inilah ide yang bahkan kita yang hidup di dunia modern ini tidak ada, para ahli tata Negara kita dan para elit politik kita tidak menciptakan pengawal untuk hukum, sehingga hukum kita menjadi tidak mandiri dan tidak terkawal.

Tetapi, apa yang diciptakan Airlanggga menciptakan tata hukum yang mandiri dan terkawal. Sesudah itu, beliau juga menyusun hukum kerajaan untuk mempersatukan semua kepentingan dalam masyarakat yang unsurnya berbeda-beda itu. Bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk menciptakan harmoni dari kepentingan-kepentingan yang dibiarkan untuk tetap berbeda-beda. Barangkali ini yang oleh Mpu Tantanakung disebut sebagai “Bhineka Tunggal Ika”. Dan rupa-rupanya inilah pula asal usul dari pengertian “Deso Mowo Toto Negoro Mowo Coro”. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tata desa harus dihormati. Boleh ada cara-cara untuk mengelola kepentingan keutuhan Negara, tetapi cara itu tidak boleh “murang toto”. Ternyata cara Airlangga tidak menyebabkan Negara menjadi terpecah belah, tetapi justru menyebabkan kokohnya kohesi antar daerah-daerah yang berbeda adatnya. Inilah salah satu model untuk dipertimbangkan, seandainya bangsa ini ingin melakukan “reinvention” dalam kebudayaan yang kini tengah berantakan.

Sedangkan di bidang cita rasa, khususnya di bidang kesenian, memelihara tradisi tidak terlalu sulit. Cukup dengan melakukan konservasi dan sikap peduli dari orang-orang kreatif di bidang cita rasa, agar mereka tahu terima kasih kepada tradisi yang telah mengembangkan cita-rasa bangsa sampai ke taraf yang sekarang, yang tidak bersikap konsumtif kepada pengaruh cita-rasa dari masayarakat adi kuasa di luar negeri.  

Sekianlah,

Jogja, 03 Maret 2007 Universitas Gadjah Mada

WS Rendra

………………………………………………………………………………………………………………………………… 

PIDATO KEBUDAYAAN 

BUDIDAYA MALU DIKIKIS HABIS GERAKAN SYAHWAT MERDEKA

 apa-taufik_ismail.gif

Taufiq Ismail

Sederetan gelombang besar menggebu-gebu menyerbu pantai Indonesia, naik ke daratan, masuk ke pedalaman. Gelombang demi gelombang ini datang susun-bersusun dengan suatu keteraturan, mulai 1998 ketika reformasi meruntuhkan represi 39 tahun gabungan zaman Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pembangunan, dan membuka lebar pintu dan jendela Indonesia. Hawa ruangan yang sumpek dalam dua zaman itu berganti dengan kesegaran baru. Tapi tidak terlalu lama, kini digantikan angin yang semakin kencang dan arus menderu-deru. Kebebasan berbicara, berpendapat, dan mengeritik, berdiri-menjamurnya partai-partai politik baru, keleluasaan berdemonstrasi, ditiadakannya SIUPP (izin penerbitan pers), dilepaskannya tahanan politik, diselenggarakannya pemilihan umum bebas dan langsung, dan seterusnya, dinikmati belum sampai sewindu, tapi sementara itu silih berganti beruntun-runtun belum terpecahkan krisis yang tak habis-habis.

Tagihan rekening reformasi ternyata mahal sekali. Bahana yang datang terlambat dari benua-benua lain itu menumbuh dan menyuburkan kelompok permissif dan addiktif negeri kita, yang sejak 1998 naik daun. Arus besar yang menderu-deru menyerbu kepulauan kita adalah gelombang sebuah gerakan syahwat merdeka. Gerakan tak bersosok organisasi resmi ini tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya.

Siapakah komponen gerakan syahwat merdeka ini?

PERTAMA adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Sebagian berjelas-jelas anti kehidupan berkeluarga normal, sebagian lebih besar, tak mau menampakkan diri.

KEDUA, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah dan kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor telepon genggam, serta mengiklankan berbagai alat kelamin tiruan (kue pancong berkumis dan lemper berbaterai) dan boneka karet perempuan yang bisa dibawa bobok bekerjasama.

KETIGA, produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial —- ditayangkan pada jam prime time, kalau pemainnya terkenal. Remaja berseragam OSIS memang menjadi sasaran segmen pasar penting tahun-tahun ini. Beberapa guru SMA menyampaikan keluhan pada saya. “Citra kami guru-guru SMA di sinetron adalah citra guru tidak cerdas, kurang pergaulan dan memalukan.” Mari kita ingat ekstensifnya pengaruh tayangan layar kaca ini. Setiap tayangan televisi, rata-rata 170.000.000 yang memirsa (seratus tujuh puluh juta pemirsanya).

KEEMPAT, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya, dapat diakses tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam mau pun Klaten. Pornografi gratis di internet luarbiasa besar jumlahnya. Seorang sosiolog Amerika Serikat mengumpamakan serbuan kecabulan itu di negaranya bagaikan “gelombang tsunami setinggi 30 meter, dan kami melawannya dengan dua telapak tangan.” Di Singapura, Malaysia, Korea Selatan situs porno diblokir pemerintah untuk terutama melindungi anak-anak dan remaja. Pemerintah kita tidak melakukan hal yang sama.

KELIMA, penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat ¼ sastra dan ½ sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria. Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata: “Wah, pak Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok mereka tidak malu, ya?” Memang begitulah, RASA MALU ITU YANG SUDAH TERKIKIS, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab selangkang) itu, bahkan lebih-lebih lagi pada banyak bagian dari bangsa.

KEENAM, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan Jepang dengan teks dialog diterjemahkan ke bahasa kita itu tampak dari kulit luar biasa-biasa saja, tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya, misalnya (bukan main) antara siswa dengan Bu Guru. Harganya Rp 2.000. Sebagian komik-komik itu tidak semata lucah saja, tapi ada pula kadar ideologinya. Ideologinya adalah anjuran perlawanan pada otoritas orangtua dan guru, yang banyak aturan ini-itu, termasuk terhadap seks bebas. Dalam salah satu komik itu saya baca kecaman yang paling sengit adalah pada Menteri Pendidikan Jepang. Tentu saja dalam teks terjemahan berubah, yang dikecam jadinya Menteri Pendidikan Nasional kita.

KETUJUH, produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru. Indonesia kini jadi sorga besar pornografi paling murah di dunia, diukur dari kwantitas dan harganya. Angka resmi produksi dan bajakan tidak saya ketahui, tapi literatur menyebut antara 2 juta – 20 juta keping setahun. Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp 3.000, bahkan lebih murah lagi. Dengan biaya 3 batang rokok kretek yang diisap 15 menit, orang bisa menonton sekeping VCD/DVD biru dengan pelaku kulit putih dalam 6 posisi selama 60 menit. Luarbiasa murah. Anak SD kita bisa membelinya tanpa risi tanpa larangan peraturan pemerintah. Seorang peneliti mengabarkan bahwa di Jakarta Pusat ada murid murid laki-laki yang kumpul dua sore seminggu di rumah salah seorang dari mereka, lalu menayangkan VCD-DVD porno. Sesudah selesai mereka onani bersama-sama. Siswa sekolah apa, dan kelas berapa? Siswa SD, kelas lima. Tak diceritakan\apa ekses selanjutnya.

KEDELAPAN, fabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras dari berbagai merek dengan mudah bisa diperoleh di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi, mudah masuk kantong celana, harga murah, dijual di kios tukang rokok di depan sekolah, remaja dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa batas umur larangan di bawah 18 tahun. Negeri kita pasar besar minuman keras, jualannya sampai ke desa-desa.  

KESEMBILAN, produsen, pengedar dan pengguna narkoba. Tingkat keterlibatan Indonesia bukan pada pengedar dan pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap sebagai pengguna, ratusan ribu menjadi korbannya.  

KESEPULUH, fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin. Korban racun nikotin 57.000 orang / tahun, maknanya setiap hari 156 orang mati, atau setiap 9 menit seorang pecandu rokok meninggal dunia. Pemasukan pajak 15 trilyun (1996), tapi ongkos pengobatan berbagai penyakit akibatnya 30 trilyun rupiah. Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin termasuk dalam kategori kontributor arus syahwat merdeka ini? Karena sifat addiktifnya, kecanduannya, yang sangat mirip, begitu pula proses pembentukan ketiga addiksi tersebut dalam susunan syaraf pusat manusia. Dalam masyarakat permissif, interaksi antara seks dengan alkohol, narkoba dan nikotin, akrab sekali, sukar dipisahkan. Interaksi ini kemudian dilengkapi dengan tindak kriminalitas berikutnya, seperti pemerasan, perampokan sampai pembunuhan. Setiap hari berita semacam ini dapat dibaca di koran-koran.

KESEBELAS, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat permissif, iklan semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan.

KEDUABELAS, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila hubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran merupakan jalan keluarnya. Dalam hal ini prostitusi berfungsi.

KETIGABELAS, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat tujuh unsur pertama di atas, kasus perkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis. Setiap hari dapat kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD, satu-satu atau rame-rame, ketika papi-mami tak ada di rumah dan pembantu pergi ke pasar berbelanja. Setiap ditanyakan apa sebab dia/mereka memperkosa, selalu dijawab ‘karena terangsang sesudah menonton VCD/DVD biru dan ingin mencobakannya. ‘ Praktisi aborsi gelap menjadi tempat pelarian, bila kehamilan terjadi. Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia 2,2 juta setahunnya. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal akibat dari salah satu
atau gabungan ketujuh faktor di atas. Inilah produk akhirnya. Luar biasa destruksi sosial yang diakibatkannya.

Dalam gemuruh gelombang gerakan syahwat merdeka ini, pornografi dan pornoaksi menjadi bintang panggungnya, melalui gemuruh kontroversi pro-kontra RUU APP. Karena satu-dua-atau beberapa kekurangan dalam RUU itu, yang total kontra menolaknya, tanpa sadar terbawa dalam gelombang gerakan syahwat merdeka ini.
 

Tetapi bisa juga dengan sadar memang mau terbawa di dalamnya. Salah satu kekurangan RUU itu, yang perlu ditambah-sempurnaka n adalah perlindungan bagi anak-cucu kita, jumlahnya 60 juta, terhadap kekerasan pornografi. Dalam hiruk pikuk di sekitar RUU ini, terlupakan betapa dalam usia sekecil itu 80% anak-anak 9-12 tahun terpapar pornografi, situs porno di internet naik lebih sepuluh kali lipat, lalu 40% anak-anak kita yang lebih dewasa sudah melakukan hubungan seks pra-nikah. Sementara anak-anak di Amerika Serikat dilindungi oleh 6 Undang-undang, anak anak kita belum, karena undang-undangnya belum ada. KUHP yang ada tidak melindungi mereka karena kunonya. Gelombang Syahwat Merdeka yang menolak total RUU ini berarti menolak melindungi anak-cucu kita sendiri. Gerakan tak bernama tak bersosok organisasi ini terkoordinasi bahu-membahu menumpang gelombang masa reformasi mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya. Menguji Rasa Malu Diri Sendiri Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang cerita pendeknya yang dimuat di sebuah media. Dia berkata, “Kalau cerpen saya itu dianggap pornografis, wah, sedihlah saya.” Saya waktu itu belum sempat membacanya. Tapi saya kirimkan padanya pendapat saya mengenai pornografi. Begini. Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes, menguji karya saya itu lewat dua tahap. Pertama, bila tokoh-tokoh di dalam karya saya itu saya ganti dengan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak atau adik saya; lalu kedua, karya itu saya bacakan di depan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak, adik, siswa di kelas sekolah, anggota pengajian masjid, jamaah gereja; kemudian saya tidak merasa malu, tiada dipermalukan, tak canggung, tak risi, tak muak dan tidak jijik karenanya, maka karya saya itu bukan karya pornografi. Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan orang-orang itu saya merasa malu, dipermalukan, tak patut, tak pantas, canggung, risi, muak dan jijik,
maka karya saya itu pornografis.
Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya, ketika saya menilai karya orang lain. Sebaliknya dipakai tolok ukur yang sama juga, yaitu bila
orang lain menilai karya saya. Setiap pembaca bisa melakukan tes tersebut dengan cara yang serupa.
Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu. Rasa malu itu yang kini luntur dalam warna tekstil kehidupan bangsa kita, dalam terlalu banyak hal.
Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik, Playboy, menumpang taufan reformasi dan gelombang liberalisme akhirnya terbit juga di Indonesia. Majalah ini diam-diam jadi tempat pelatihan awal onani pembaca Amerika, dan kini, beberapa puluh tahun kemudian, dikalahkan internet, sehingga jadilah publik pembaca Playboy dan publik langganan situs porno internet Amerika masturbator terbesar di dunia. Majalah pabrik pengeruk keuntungan dari kulit tubuh perempuan ini, mencoba menjajakan bentuk eksploitasi kaum Hawa di negeri kita yang pangsa pasarnya luarbiasa besar ini. Bila mereka berhasil, maka bakal berderet antri masuk lagi majalah anti-tekstil di tubuh perempuan dan fundamentalis- syahwat-merdeka seperti
Penthouse, Hustler, Celebrity Skin, Cheri, Swank, Velvet, Cherry Pop, XXX Teens dan seterusnya. Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur Playboy Indonesia, saya sarankan kepada mereka melakukan sebuah percobaan, yaitu mengganti model 4/5 telanjang majalah itu dengan ibu kandung, ibu mertua, kakak, adik, isteri dan anak perempuan mereka sendiri. Saran ini belum berlaku sekarang, tapi kelak suatu hari ketika Playboy Indonesia keluar perilaku aslinya dalam masalah ketelanjangan model yang dipotret. Sekarang mereka masih malu-malu
kucing. Sesudah dibuat dalam edisi dummy, promosikan foto-foto itu itu di 10 saluran televisi dan 25 suratkabar. Bagaimana? Berani? Malu atau tidak?
Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah menduga-memperkirakan-mengingat akibat yang mungkin terjadi sesudah orang
membaca karya pornografis itu. Sesudah seseorang membaca, katakan cerpen yang memberi sugesti secara samar-samar terjadinya hubungan kelamin, apalagi kalau dengan jelas mendeskripsikan adegannya, apakah dengan kata-kata indah yang dianggap sastrawi atau kalimat-kalimat brutal, maka pembaca akan terangsang.
Sesudah terangsang yang paling penakut akan onani dan yang paling nekat akan memperkosa.
Memperkosa perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil jadi sasaran. Perkosaan banyak terjadi terhadap anak-anak kecil masih bau
susu bubuk belum haid yang di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja, pembantu pergi ke pasar, jam 9-10 pagi.
Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi dan ditanya kenapa, umumnya bilang karena sesudah menonton VCD porno mereka terangsang ingin
mencoba sendiri. Merayu orang dewasa takut, mendekati perempuan-bayaran tidak ada uang. Kalau diteliti lebih jauh kasus yang sangat banyak ini (peneliti yang rajin akan bisa mendapat S-3 lewat tumpukan guntingan koran), mungkin saja anak itu juga pernah membaca cerita pendek, puisi, novel atau komik cabul.
Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi, prostitusi, penularan penyakit kelamin gonorrhoea, syphilis, HIV AIDS, yang meruyak di kota-kota besar Indonesia berbarengan dengan akibat penggunaan alkohol dan narkoba yang tak kalah destruktifnya. Akibat Sosial Ini Tak Pernah Difikirkan Penulis Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah difikirkan oleh penulis cerpen-puisi- novelis erotis yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya sendiri, mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke sini dipuji, tidak pernah bersedia merenungkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh tulisannya.

Sejumlah cerpen dan novel pasca reformasi sudah dikatakan orang mendekati VCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka membayangkan, bahwa sesudah sebuah cerpen atau novel dengan rangsangan syahwat terbit, maka beberapa ratus atau ribu pembaca yang terangsang itu akan mencontoh melakukan apa yang disebutkan dalam alinea-alinea di atas tadi, dengan segala rentetan kemungkinan yang bisa terjadi selanjutnya? Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu, beradik-kakak dengan destruksi yang dilakukan produsen-pengedar- pembajak- pengecer VCD/DVD porno, beredar (diperkirakan) sebanyak 20 juta keping, yang telah meruyak di masyarakat kita, masyarakat
konsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia. Dulu harganya Rp 30.000 sekeping, kini Rp 3.000, sama murahnya dengan 3 batang rokok kretek. Mengisap rokok kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki dan menonton sekeping VCD/DVD syahwat sepanjang 6o menit itu.
Bersama dengan produsen alkohol, narkoba dan nikotin, mereka tidak sadar telah menjadi unsur penting pengukuhan masyarakat permissif-addiktif serba-boleh- apa-saja- genjot, yang dengan bersemangat melabrak apa yang mereka anggap tabu selama ini, berpartisipasi meluluh-lantakkan moralitas anak bangsa.
Perzinaan yang Hakekatnya Pencurian adalah Ciri Sastra Selangkang Akhirnya sesudah mendapatkan korannya, saya membaca cerpen karya penulis yang disebut di atas. Dalam segi teknik penulisan, cerpen itu lancar dibaca. Dalam segi isi sederhana saja, dan secara klise sering ditulis pengarang Indonesia yang pertama kali pergi ke luar negeri, yaitu pertemuan seorang laki-laki di negeri asing dengan perempuan asing negeri itu. Kedua-duanya kesepian. Si laki-laki Indonesia lupa isteri di kampung. Di akhir cerita mereka berpelukan dan berciuman. Begitu saja. Dalam interaksi yang kelihatan iseng itu, cerpenis tidak menyatakan sikap yang jelas terhadap hubungan kedua orang itu. Akan ke mana hubungan itu berlanjut, juga tak eksplisit. Apakah akan sampai pada hubungan pernikahan atau perzinaan, kabur adanya.   Perzinaan adalah sebuah pencurian. Yang melakukan zina, mencuri hak orang lain, yaitu hak penggunaan alat kelamin orang lain itu secara tidak sah. Pezina melakukan intervensi terhadap ruang privat alat kelamin yang dizinai. Dia tak punya hak untuk itu. Yang dizinai bersekongkol dengan yang melakukan penetrasi, dia juga tak punya hak mengizinkannya. Pemerkosa adalah perampok penggunaan alat kelamin orang yang diperkosa. Penggunaan alat kelamin seseorang diatur dalam lembaga pernikahan yang suci adanya. Para pengarang yang terang-terangan tidak setuju pada lembaga pernikahan, dan/atau melakukan hubungan kelamin semaunya, yang tokoh-tokoh dalam karyanya diberi peran syahwat merdeka, adalah rombongan pencuri bersuluh sinar rembulan dan matahari. Mereka maling tersamar. Mereka celakanya, tidak merasa jadi maling, karena (herannya) ada propagandis sastra menghadiahi mereka glorifikasi, dan penerbit menyediakan gratifikasi. Propagandis dan penerbit sastra semacam ini, dalam istilah kriminologi, berkomplot dengan maling. Hal ini berlaku bukan saja untuk karya (yang dianggap) sastra, tapi juga untuk bacaan turisme, rujukan tempat hiburan malam, dan direktori semacam itu. Buku petunjuk yang begitu langsung tak langsung menunjukkan cara berzina, lengkap dengan nama dan alamat tempat berkumpulnya alat-alat kelamin yang dapat dicuri haknya dengan cara membayar tunai atau dengan kartu kredit gesekan. Sastra selangkang adalah sastra yang asyik dengan berbagai masalah wilayah selangkang dan sekitarnya. Kalau di Malaysia pengarang-pengarang yang mencabul-cabulkan karya kebanyakan pria, maka di Indonesia pengarang sastra selangkang mayoritas perempuan. Beberapa di antaranya mungkin memang nymphomania atau gila syahwat, hingga ada kritikus sastra sampai hati menyebutnya “vagina yang haus sperma”. Mestinya ini sudah menjadi kasus psikiatri yang baik disigi, tentang kemungkinannya jadi epidemi, dan harus dikasihani. Bila dua abad yang lalu sejumlah perempuan Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan naik takhta sebagai penguasa tertinggi kerajaan, Sultanah atau Ratu dengan kenegarawanan dan reputasi terpuji, maka di abad 21 ini sejumlah perempuan Indonesia mencari dan memburu tepuk tangan kelompok permissif dan addiktif sebagai penulis sastra selangkang, yang aromanya jauh dari wangi, menyiarkan bau amis-bacin kelamin tersendiri, yang bagi mereka parfum sehari-hari.
 
Dengan Ringan Nama Tuhan Dipermainkan Di tahun 1971-1972, ketika saya jadi penyair tamu di Iowa Writing Program, Universitas Iowa, di benua itu sedang heboh-hebohnya gelombang gerakan perempuan. Kini, 34-an tahun kemudian, arus riaknya sampai ke Indonesia. Kaum feminis Amerika waktu itu sedang gencar-gencarnya mengumumkan pembebasan kaum perempuan, terutama liberasi kopulasi, kebebasan berkelamin,
di koran, majalah, buku dan televisi.
Menyaksikan penampilan para maling hak penggunaan alat kelamin orang lain itu di layar kaca, yang cengengesan dan mringas-mringis seperti Gloria Steinem dan semacamnya, banyak orang mual dan jijik karenanya. Mereka tidak peduli terhadap epidemi penyakit kelamin HIV-AIDS yang meruyak menyebar seantero Amerika Serikat waktu itu, menimpa baik orang laki-laki maupun
perempuan, hetero dan homoseksual, akibat kebebasan yang bablas itu.
Di setasiun kereta api bawah tanah New York, seorang laki-laki korban
HIV-AIDS menadahkan topi mengemis.
Belum pernah saya melihat kerangka manusia berbalut kulit tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar matanya kosong, suaranya parau. Kematian banyak anggota kelompok ini, terutama di kalangan seniman di tahun 1970-an, tulis seorang esais, bagaikan kematian di medan perang Vietnam.  Sebuah orkestra simfoni di New York, anggota-anggotanya bergiliran mati saban minggu karena kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat kebebasan bablas itu. Para pembebas kaum perempuan itu tak acuh pada bencana menimpa bangsa karena asyik mendandani penampilan selebriti diri sendiri. Saya sangat heran. Sungguh memuakkan. Kalimat bersayap mereka adalah, “This is my body. I’ll do whatever I like with my body.” “Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa saja yang aku suka dengan tubuhku ini.” Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh mereka itu ciptaan
mereka sendiri, padahal tubuh itu pinjaman kredit mencicil dari Tuhan, Cuma satu tingkat di atas sepeda motor Jepang dan Cina yang diobral di iklan koran-koran.
Mereka tak ada urusan dengan Maha Produser Tubuh itu. Penganjur masyarakat permissif di mana pun juga, tidak suka Tuhan dilibatkan dalam urusan. Percuma bicara tentang moral dengan mereka. Dengan ringan nama Tuhan dipermainkan dalam karya. Situasi kita kini merupakan riak-riak gelombang dari jauh itu, dari abad 20 ke awal abad 21 ini, advokatornya dengan semangat dan stamina mirip anak-anak remaja bertopi beisbol yang selalu meniru membeo apa saja yang berasal dari Amerika Utara itu. Penutup Ciri kolektif seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka ini adalah budaya malu yang telah kikis nyaris habis dari susunan syaraf pusat dan rohani mereka, dan tak adanya lagi penghormatan terhadap hak penggunaan kelamin orang lain yang disabet-dicopet- dikorupsi dengan entengnya. Tanpa memiliki hak penggunaan kelamin orang lain, maka sesungguhnya Gerakan Syahwat Merdeka adalah maling dan garong genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin dan narkoba, menjadi perantara kejahatan, mencecerkan HIV-AIDS, prostitusi dan aborsi, bersuluh bulan dan matahari.*** IPB, 9 Januari 2007.  …………………………………………………………………………………………………………………….

PIDATO KEBUDAYAAN

rendra3332.jpg 

oleh WS.Rendra 

Syahdan , usaha manusia didalam masyarakat akhirnya akan tertumbuk pada “mesin budaya”. Adapun “mesin budaya” itu adalah aturan-aturan yang bersifat mengikat dan menimbulkan akibat . Etika umum , aturan politik , aturan ekonomi dan aturan hukum , itu semua adalah aturan-aturan yang tidak bisa dilanggar tanpa ada akibat. Semua usaha manusia pada akhirnya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “mesin budaya” itu .“Mesin budaya” yang berdaulat rakyat, adil , berperikemanusiaan dan menghargai masa depan adalah “mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggauta masyarakat dalam negara .Tetapi “mesin budaya” yang berdaulat penguasa , yang menindas dan menjajah sangat berbahaya untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.Dewasa ini etika sebagai mesin budaya sangat lemah daya kerjanya . Penjahat-penjahat ekonomi dijaman Orde Baru lolos kabur keluar negeri dengan segenap harta rampokannya . Adapula yang hidup aman-aman didalam negeri dengan harta najisnya , dimuliakan orang dan tak terjamah oleh undang-undang yang tak adil . Bahkan pengacara-pengacara banyak yang menjadi kaya raya karena membela para perampok harta bangsa.Jaksa-jaksa dan hakim-hakim pun bisa disuap dan akhirnya menjadi pelindung kejahatan.
Agama tinggal menjadi lencana. Kekerasan pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan menjadi halal . Bahkan dianjurkan dan dibanggakan. Pendeknya seorang yang perkasa karena senjata , karena harta , atau karena punya massa bisa melangar etika dengan aman dan sejahtera.  

GO..GO..GO..ALLEZ..ALLEZ..ALLEZ
Bakso..Bakso..Bakso..Onde..Onde..Onde
Mikul duwur mendem jero itu ape artinye

Artinye: kalo ente jadi presiden berdosa boleh aje. Undang-undang dan aturan ketatanegaraan kita dewasa ini,yang meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu,yang sama-sama menterapkan keunggulan daulat pemerintah diatas daulat rakyat , yang sama-sama menggunakan “hatzaai-artikelen” untuk melecehkan ungkapan perasaan rakyat demi keunggulan wibawa ndoro penguasa , yang juga sama-sama menterapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, yang sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika , dengan sendirinya tidak akan berdaya mencegah krisis etika bangsa , bahkan malah mendorong para penguasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka , tanpa ada kontrol yang memadai.Tentu saja ada Pancasila , sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupnya. Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik , tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya .Kemanusiaan yang adil dan beradab , satu sila yang indah dari Pancasila, tenyata tak punya kekuatan undang-undang bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa.Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang , Madura . Pembunuhan Marsinah , Udin , para mahasiswa Trisakti dan peristiwa-peristiwa pembunuhan lainnya lagi.Majikan Marsinah yang punya pabrik jam palsu dan tidak memberlakukan peraturan menteri dalam soal gaji buruh , bebas dari tuntutan apapun.Sedangkan Marsinah yang memprotes agar peraturan menteri diterapkan di pabriknya justru malah dianiaya dan dibunuh , tanpa urusan pengadilan yang memadai.Para buruh di Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya dianiaya dan diburu-buru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan alih-alih para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan.Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan dari limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak pada kepentingan majikan pabrik.Benar-benar Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab , keadilan sosial dan kedaulatan rakyat tak ada hukumnya didalam undang-undang pelaksanaan.Hal ini menjadi demikian karena KUHP yang berlaku di masyarakat kita adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tak punya dasar etika dalam perundang-undangannya!Sungguh ironis didalam negara yang merdeka, karena meremehkan kedaulatan manusia dan kedaulatan rakyat,hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotannya kehidupan etika bangsa.Tatanan hidup yang kacau ini menimbulkan “Zaman edan” ,menurut penyair Ronggowarsito ialah zaman yang tidak memberdayakan akal sehat. Seterusnya “Zaman Edan” akan menimbulkan zaman yang menurut Ronggowarsito disebut “Zaman Kolobendu” , ialah zaman yang kacau nilai, zaman kejahatan menang, penjahat dipuja , orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa.Inilah zaman dimana kita semua , sekarang ini berada

Ur! Ur! Badaur!Kotak korek api
maju mundur maju mundur
Uang suap pegang kendali

Ur! Ur! Badaur!
Kalung jali-jali
Hidup rakyat hancur lebur
Wakil rakyat malahan naik gaji

Si tukang riba disebut lintah darat
Si hidung belang disebut buaya darat
Pedagang banyak hutang itulah konglomerat
Mereka yang berhutang , yang bayar ,

lha koq rakyat!Kolobendu! Kolobendu! inilah keadaan yang seharusnya tidak terjadi di negara yang merdeka. Ternyata nilai-nilai luhur dan sifat adiluhung dalam kebudayaan bangsa itu omong kosong belaka!Akibat dari undang-undang yang tidak adil dan ketatanegaraan yang sableng, bangsa kita terperosok dalam alam Kolobendu.Tetapi rupanya bangsa kita sering mengalami Kolobendu Buktinya di abad ke:19 Ronggowarsito sudah bersyair masa itu. Selanjutnya saya jadi teringat : dipermulaan abad ke:11 pemerintahan Dharmawangsa juga mengalami Kolobendu. Untung beliau cukup sadar akan batas kemampuannya,lalu mengundurkan diri dan menunjuk cucunya, Airlangga untuk menggantikannya.Dalam usia tujuh belas tahun Airlangga segera berusaha memulihkan Kolobendu menjadi Kolosubo, atau zaman aman dan sejahtera. Adapun caranya dengan merubah tatanan undang-undang dalam tatanan ketatanegaraan . Tatanan yang memusat kemudian dicairkan.Ia mengumumkan agar setiap desa adat memulihkan tatanan hukum adatnya , yang berbeda-beda disetiap desanya. Semua tergantung dari cara mereka menghasilkan barang-barang kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari dan dipasarkan.Kemudian ia menganjurkan agar setiap desa adat membentuk empat puluh prajurit penjaga adat, yang dipilih berdasarkan mutu kehidupan pribadi mereka , dan diangkat turun temurun. Dan ternyata kalau seorang prajurit tak punya anak yang kehidupannya bermutu baik , maka ia boleh digantikan (kalau sudah wafat) oleh kemenakkannya atau cucunya yang baik mutu kehidupannya .Maka Airlangga menghadiahkan kepada setiap prajurit adat, disetiap desa-desa adat , sebuah keris , sebuah mata tombak , dan sehelai angkin emas.Dengan begitu sang raja yang masih remaja itu telah menciptakan ekonomi yang luas untuk setiap desa adat dan telah melahirkan hukum dan undang-undang yang adil serta terkawal. Dan terciptalah zaman emas dalam pemerintahannya dengan dasar etika yang kuat yang didukung oleh undang-undang yang nyata berlaku. Dan undang-undang yang berlaku itu diberikan pula pengawalnya.Menarik sekali daya cipta remaja yang berumur tujuh belas tahun itu yang telah menciptakan bagi rakyatnya tatanan undang-undang yang adil , mandiri dan terkawal.Alangkah bedanya dengan negara kita saat ini yang tatanan hukum dan undang-undang belum memuaskan keadilannya , belum memuaskan kemandiriannya dan lagi tidak terkawal. Lembaga kepolisian yang seharusnya menjadi pengawal hukum dan undang-undang malah menjadi pengawal pemerintah! Dan lembaganya dibawah ketiak presiden! itulah sebabnya saya menyebut bahwa ketatanegaraan kita ini sableng!Ketatanegaraan Airlangga yang tidak memusat itu ternyata malah menimbulkan kejayaan hidup bersama yang penuh daya cipta yang akhirnya memang makmur pula. Berbeda dengan ketatanegaraan kita yang terlalu memusat , sehingga akhirnya malah menimbulkan ketegangan hubungan antara pusat dengan daerah , yang bisa menjurus kearah perpecahan .Desa-desa adat yang ada di Bali bisa terus menjaga keseimbangan hidup rakyatnya sampai saat ini . Jadi berlangsung selama 995 tahun!Sayang pada akhirnya Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua kerajaan untuk dipimpin kedua puteranya. Hal ini menyebabkan ketegangan hidup yang terus menerus sehingga akhirnya desa-desa adat di Jawa bubar karena kehilangan kedaulatannya .Di Sulawesi Selatan keadaan Kolobendu juga pernah terjadi di akhir abad:15 . Disaat itu muncullah seorang pemuda dari kalangan rakyat yang sangat cerdas yang bernama Kajao Laliddo. Kecerdasannya menarik para sesepuh kerajaan Bone sehingga akhirnya ia memperoleh kedudukan yang cukup tinggi .Dalam kedudukannya itu ia menawarkan ketatanegaraan yang menjamin tetap berlangsungnya perbedaan-perbedaan kepentingan didalam masyarakat , yang eksis secara berdampingan dibawah tatanan yang ber-sendi kan etika , hukum dan undang-undang yang dikawal oleh tujuh dewan adat yang dinamakan “Ade Pitue”.Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan kepentingan diselesaikan dengan “bicara” , yang berarti pengadilan. Hierarki dalam tatanan ketatanegaraan adalah :Yang tertingi : “Ade” (hukum) lalu “Puang” (kesatria) yang menjadi “Pangagedereng” (pelaksana pemerintahan) , kemudian rakyat yang berdaulat .Ternyata jalan keluar Kajao Laliddo itu sukses. Bisa membawa keamanan dan daya hidup yang penuh dinamika kemajuan bagi rakyat karena daya insyatif mereka terjaga.Seorang Wajo yang hidup sukses di rantau , menjelaskan kiat suksesnya dengan ucapan : “Merdeka orang Wajo hanya hukum adat yang dipertuan”. Tatanan hidup itu bisa bertahan sampai 505 tahun. Pada tahun 1905 hancur diobrak abrik oleh Belanda yang datang dengan keunggulan teknologi : kapal uap , senapan mesin ,dan senapan yang bisa dikokang . Tetapi sebelum itu wilayah mereka tak bisa dijamah oleh Portugis , Spanyol, Inggris ataupun VOC.Di zaman modern ini ketika Kolobendu menimpa Thailand di akhir abad yang baru saja berlalu. Mereka segera memperbaiki konstitusi sehingga menjadi konstitusi yang baru. Dan ternyata sekarang, kemelut itu sudah mereka lampaui. Adapun konstitusi baru itu melibatkan pertisipasi rakyat dalam penciptaannya .Demikian pula dengan Korea Selatan yang juga ditimpa Kolobendu di akhir abad yang baru lalu . Dengan merubah konstitusi merekapun bisa keluar dari kemelut .Ternyata hukum , perundang-undangan dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia , daulat rakyat , daulat akal sehat , dan daulat etika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa , sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi . Sayang elite politik kita masih belum bisa bebas dari mentalitas ndoro-ndoro penguasa Hindia Belanda yang sangat kuat dalam mempengaruhi diri mereka . Dianggapnya UUD’45 yang penuh pengaruh ketatanegaraan Hindia Belanda itu justru dianggap sakral dan sempurna . Bung Karno sendiri pernah berpesan bahwa UUD’45 itu tidak sempurna , tapi bisa menjadi berlaku untuk sementara saja.Apakah kaum kolot tidak menyadari bahwa UUD’45 itu mengandung kesenjangan antara Ius (Pancasila) dan Legae (KUHP) ? . Sehingga seperti yang telah saya lukiskan diatas bahwa Pancasila hanya menjadi bendera upacara belaka . Sehingga daulat manusia , daulat rakyat dan keadilan sosial tidak pernah menjelma dalam kenyataan kehidupan .Lain dari itu cara UUD’45 merumuskan wilayah negara , sebagaimana tercantum dalam pasal 25a adalah : “Negara kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang”Tidak ada perkataan “maritim” didalam rumusan itu. Nama negarapun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia . Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan . Tetapi seperti berkepala batu para elite politik kita tidak mau merubah nama negara kita menjadi Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia .Negara kita adalah negara satu-satunya yang memiliki laut di dunia . Negara-negara lain hanya mempunyai pantai . Tetapi negara kita mempunyai laut : Laut Natuna , Laut Jawa,Laut Sulawesi,Laut Flores,LautBanda,Laut Aru,Laut Maluku,Laut Seram,Laut Halmahera,Laut Timor dan Laut Sawu. Tetapi ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan . Inikah mental petani?PBB dan Unclos sudah mengakui kita sebagai negara maritim . Tahun 1982 kita sudah menandatangani komitmen tata kelautan dengan Unclos . Tetapi sampai saat ini kita belum menyesuaikan tata kelautan dalam standar Internasional kedalam tata hukum dan tata ketatanegaraan kita.Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard” . Padahal ini adalah persyaratan Internasional agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan laut kita. Secara Internasional kita tidak boleh mengamankan laut kita dengan polisi atau angkatan laut . Apa sih sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard” ? Apakah ini menyinggung kepentingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak kurang akal untuk mencari “win-win solution”?Dalam soal perbatasan dilaut kita telah melengahkan pemetaan,pendirian mercusuar dan mengumumkan claim yang jelas dan rational mengenai batas-batas wilayah negara kita , terutama yang menyangkut wilayah laut.Sudah saatnya pula lembaga intelejen kita mempunyai direktorat maritim. Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita di segenap bidang , mencakup pengertian “Tanah Air” dan tidak sekedar “Tanah” saja.Pelabuhan-pelabuhanpun harus segera ditata sebagai negara pelabuhan yang dipimpin oleh syahbandar yang berijazah internasional . Sedangkan pelaksanaan pengelolaannya boleh dilakukan oleh perusahaan yang di syahkan oleh syahbandar. Kemudian harus segera dicatatkan di PBB dan Unclos .Tanpa itu , maka negara kita sampai saat ini tidak diakui punya pelabuhan , melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka.Sampai sekarang kegiatan Departemen Kelautan hanya mengurusi hasil kelautan saja, tetapi lengah dalam mengurusi Kedaulatan negara kita dilaut.Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara itu untuk pertama kalinya di claim oleh Baron van der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Hindia Belanda dan sifat kedaulatannya adalah negara maritim . Jadi van der Capellen tidak mengandalkan kepada kekuatan serdadu untuk mempersatukan nusantara , melainkan alat politik untuk persatuan itu adalah hukum dan ketatanegaraan maritim!Kemudian ketika harus berantisipasi menghadapi pecahnya perang dunia kedua , pemerintah Hindia Belanda tidak lengah , segera pula tahun 1939 menerbitkan Ordonansi tentang Batas Wilayah Maritim Pemerintah Hindia Belanda.Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan Menteri Luar Negeri Muchtar Kusumaatmaja yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia internasional sehingga diakui oleh PBB dan Unclos .

Tetapi kita harus tanpa lengah sekejap-pun meneruskan perjuangan itu sehingga ada implementasi pengakuan dunia internasional menjadi sebuah kedaulatan yang nyata.Tetapi sayang hal-hal semacam ini , soal “sea and coast guard” dan segala macamnya lagi yang saya sebut diatas , tidak muncul dalam “Rencana Undang-Undang Pembangunan Jangka Panjang Nasional” yang kini lagi menjadi pe-er nya para anggauta DPR yang baru saja dinaikkan gajinya itu.Perlu disayangkan pula bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijazah internasional untuk syahbandar dan nakhoda belum juga mendapatkan izin dari Departemen Pendidikan Nasional .

Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu adalah sikap yang tidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.Ketatanegaraan kita yang sableng juga menyebabkan pemerintah kita dari sejak Orde Lama , Orde Baru dan Orde Reformasi melengahkan pembangunan perdagangan dalam negeri yang berlandaskan usaha kecil menengah .Bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak mengindahkan kemajuan perdagangan dalam negeri , tidak pula mengembangkan kemampuan yang dahsyat dari usaha kecil menengah , itu bisa dimengerti karena mereka memang punya agenda penjajahan .Oleh karena itu pula pemerintah Hindia Belanda menciptakan industrialisasi dengan landasan modal asing . Sedangkan bahan baku dan mesin alat berproduksi diimport . Yang semuanya itu dijamin oleh Ordonansi Pajak tahun 1925 , dibebaskan dari pajak . Bahkan diberlakukan pula peraturan devisa terbuka, agar keuntungan-keuntungan dan semua hasil jarahan ekonomi bisa dilarikan keluar negeri.

Anehnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 dan disegarkan pada tahun 1970 memuat hal yang sama dengan Ordonansi Pajak 1925 . Yang semuanya itu merupakan kembang gula bagi modal asing!Lebih jauh lagi Orde Baru lebih percaya pada kemampuan berhutang pada lembaga Donor Asing daripada membangun kekuatan modal dalam negeri . Sudah jelas merupakan kesalahan besar membangun ekonomi makro tanpa membangun ekonomi mikro .Teori “tricle-down effect” itu tipu daya belaka . Nyatanya alam menjadi rusak . Hutang ber-milyard-milyard dollar yang semua harus ditanggung oleh rakyat.Para elite politik lupa bahwa sejak abad 18 perdagangan antar pulau dan antar desa sudah berkembang dengan jayanya di nusantara . Bahkan perdagangan itulah yang menjadi tali persatuan Nusantara , bukan serdadu atau pemusatan kekuasaan .

Perdagangan itu yang mendorong rasa berbangsa dan menjelmakan bahasa persatuan dengan huruf yang sama dan kalender sama. Bahkan mampu mendorong tatanan hidup bermasyarakat yang multykultur di kota-kota pelabuhan dan kota-kota besar di pedalaman .Tentu saja para penjajah tidak alpa menindas kehidupan perdagangan antar daerah , antar suku,antar desa demi kepentingan hak monopoli perdagangan mereka.Tetapi setelah kita merdeka , seharusnya kita tidak terlambat untuk memulihkan daulat perdagangan rakyat antar daerah , antar pulau dan antar desa . Bukannya mengejar pembangunan khayalan yang bertumpu pada modal asing dan ekonomi makro semata.Modal asing yang masukpun tidak pernah mau menjamah pembangunan infrastruktur ekonomi untuk perdagangan antar daerah dan antar desa .

Modal asing rata-rata hanya menggarap potensi bangsa kita sebagai pasar.Apakah kesalahan pembangunan Orde Baru ini akan diterus-teruskan lagi oleh Orde Reformasi tanpa ada jeranya?Menurut data terakhir dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah , jumlah usaha kecil menengah sekarang sudah mendekati 45 juta dan menampung tenaga kerja hampir 85 juta orang . Kontribusi mereka pada GNP 62% yang sama dengan 1200 trilyun rupiah. Apakah ini bukan kemampuan nyata yang harus diperhatikan di dalam program pembangunan.Akibat dari agenda pembangunan pemerintah yang penuh khayalan tapi kurang berdasar pada kenyataan itu , negara kita semakin terlilit hutang dan kepentingan rakyat semakin jauh ditinggalkan.

Kesalahan visi pembangunan Orde Baru yang dasar adalah: merancangkan masa depan dalam jangka panjang namun tanpa pengetahuan akan portofolio masa lalu yang rasional dan tanpa pengetahuan portofolio masa kini yang rasional pula.Rupa-rupanya hal ini akan diulang lagi oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyusun “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional”

Memang ada makhluk yang suka membenturkan kepalanya ke tembok dua kali…Bah!

~ Aduh..aduh.., cantiknya si Janda Kembang Sedap menyanyi “Si Jali-Jali” 

Hujan emas di rantau orang Hujan babu di negeri sendiri

~Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh. 

WS.Rendra 

Leave a comment »

TANAH DARAHKU

duroo1.png

CELURIT EMAS

D. Zawawi Imron

Bila musim melabuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku.

Bila dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku.

Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu, akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu.

Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan.

Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku.

Di bubung langit kuucapkan sumpah.

Madura, akulah darahmu.

 

Comments (1) »